Suluah.com – Berumur lebih dari seabad, Masjid Syuhada Sariak di Nagari Sariak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat berdiri kokoh dengan konstruksi bangunan aslinya. Masjid ini menjadi contoh perpaduan teknik bangunan modern pada masanya dengan ciri khas lokal.
Sentuhan ornamen motif gemoteris, flora, dan Arabes menambah keindahan bangunan masjid ini. Tak ayal, banyak fotografer pada masa kolonial yang mengabadikannya.
Sejarah Masjid Syuhada Sariak

Historiografi mengenai masjid ini telah ditulis oleh Rizal Bustami pada 2008, berdasarkan hasil wawancaranya dengan dari Darlis St. Rajo Mudo. Selanjutnya, Aswil Nazir pada 2011 melengkapi tulisan Rizal Bustami dengan menambahkan penuturan Ono Dt. Palindih.
Selain itu, informasi mengenai Masjid Syuhada Sarik bisa kita temukan di buku Masdjid dan Makam Doenia Islam cetakan Balai Pustaka tahun 1926. Namun, informasi di buku tersebut hanya memberi penjelasan tentang kondisinya setelah genpa bumi 1926.
Sementara itu, untuk mengetahui sekilas tentang sejarah Nagari Sarik, kita dapat merujuk pada artikel di situs web resmi nagari.
Tokoh yang memprakasai pembangunan masjid ini adalah Inyiak Pasia, seorang guru agama di sebuah pesantren di Nagari Pasia. Sementara itu, tanahnya merupakan wakaf dari Dt. Palindih.
Sebagaimana masjid tradisional Minangkabau, masjid ini semula memiliki bentuk bangunan berdenah persegi dengan atap tumpang bersudut lancip. Dindingnya terbuat dari papan dan atapnya berbahan ijuk.
Dokumentasi bentuk awal ini dapat kita temukan dari koleksi koleksi KITLV. Dalam beberapa foto terlihat, masjid ini sudah memiliki menara batu di depannya.
Sayangnya, dari berbagai sumber yang kami kutip, kapan persisnya pembangunan masjid awal masih belum jelas. "Tetapi yang jelas, ketika gunung Krakatau meletus di tahun 1883, masjid ini telah lama ada," tulis Aswil Nazir.
Tentang Inyiak Pasia dan Dt. Palindih
Alkisah pada tahun 1800-an, hidup tiga perempuan bersaudara dari Suku Sikumbang di Nagari Sariak, yakni Tuo Labu, Tuo Upik, dan Tuo Tarimin. Mereka memiliki harta pusaka berupa sawah, tanah ulayat, dan sebuah tabek (kolam) dengan mata air yang tidak pernah kering.
Menurut adat matrilineal Minangkabau, harta pusaka hanya boleh diwariskan kepada perempuan. Namun, hanya Tuo Upik yang memiliki anak perempuan.
Tuo Labu memiliki dua anak laki-laki bernama H. Sulaiman Sutan Sulaiman (Inyiak Imam) dan H. Rasyad Sutan Pasia (Inyiak Pasia). Sementara itu, Tuo Tarimin memiliki seorang anak laki-laki bernama Ajo, yang menyandang gelar Dt. Palindih.
Setelah menikah, Tuo Upik sempat merantau dan menetap di Padang Panjang. Namun, Inyiak Pasia mendatangi keluarganya dan membujuknya pulang ke Sarik.
Menurut penuturan Ono Dt. Palindih, Inyiak Pasia adalah sosok yang memprakarsai pembangunan Masjid Syuhada Sarik. Ia meminta persetujuan Ajo Dt. Palindih sebelum mendirikan masjid di atas tanah pusaka keluarga.
Inyiak Imam merupakan imam pertama masjid ini sampai 1870. Setelah itu, berturut-turut dilanjutkan oleh Inyiak Pasia (1870-1925), H. Umar (1925-1958), H. Ahmadiar (1958-1993), H. Irman Sutan Mudo (1993-2016), dan Mardeki (sejak 2016).
Perombakan

Pada awal abad ke-19, bangunan Masjid Syuhada Sarik dirombak menjadi bentuk yang kita saksikan pada hari ini, dengan tetap mempertahankan menara batu yang sudah ada.
Menurut Darlis St. Rajo Mudo, sebagaimana tulisan Rizal Bustami, pembangunan dimulai pada tahun 1901 dan memakan waktu sekitar tiga tahun. Informasi ini bersumber dari Malin Sutan, yang pernah menjadi pekerja masjid.
Darlis bertemu Malin Sutan secara kebetulan di sebuah lokasi perburuan pada tahun 1984. Saat itu, Malin Sutan sudah berusia 117 tahun.
Meski berlantai dua, bangunannya sama sekali tidak menggunakan kerangka besi. Bahan perekatnya bukan pula semen, melainkan dari kapur sirih yang dicampur dengan pasir.
Lantai dasar menjadi tempat ibadah rutin dan kegiatan pengajian berlangsung. Lantai atasnya akan digunakan saat perlu menampung banyak jemaah seperti saat Shalat Jumat dan Shalat Id.
Pada kompleks masjid, terdapat satu bangunan tempat belajar mengaji bagi anak-anak, satu rumah guru agama, dan satu rumah garin.
Kekohohan Bangunan
Tahun 1926, seperempat abad setelah bangunan berdiri, gempa bumi meluluhlantakkan Padang Panjang dan sekitarnya. Meski secara umum tidak mengalami kerusakan berarti, guncangan membuat bangunan menara runtuh.
Konstruksi menara runtuh hampir seluruhnya. Hanya tersisa tapak bangunan yang menjadi landasan dan terhubung ke bagian mihrab.
Informasi dan dokumentasi mengenai Masjid Syuhada Sarik tak lama setelah gempa bumi 1926 bisa kita temukan di buku Masdjid dan Makam Doenia Islam.
Baca juga: Masjid Raya Piladang dan Dentuman Peluru Belanda Ketika Shalat Jumat
“Inilah seboeah lagi masdjid jang didirikan menoeroet matjam baroe. Masdjid Sarik ini boekan boeatannja sadja jang bagoes, tetapi letaknja djoega, di sisi mata air jang besar, di lereng goenoeng Merapi, berpemandangan bagoes ke kaki goenoeng Singgalang dan ke Fort de Kock. Menaranja jang tjantik itoe soedah roboh tatkala gempa boemi jang terdjadi dengan takdir Toehan di Soematera Barat."
Menara yang berdiri saat ini merupakan hasil pembangunan ulang, yang bentuknya berbeda dan tidak setinggi menara awal. Meski demikian, tampilannya tetap selaras dengan langgam bangunan utama. [den]











