Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara

Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an

Djamaluddin Tamim dan keluarga. [Foto: Ist.]

Suluah.com – Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatra Barat pada dekade 1920-an. Sebelum aktif dalam gerakan komunis, ia mengajar di Sumatera Thawalib Padang Panjang.

Pasca-kegagalan pemberontakan Silungkang 1927, ia hidup dalam pelarian di Singapura. Di sana, ia mengendalikan jaringan Partai Republik Indonesia (PARI) dan memperoleh banyak pengikut.

Kehidupan Awal

Latar belakang Djamalauddin Tamim tidak banyak diketahui. Sumber yang membahas biografinya hanya menyebut ia lahir pada 18 November 1900 di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.

Tertarik menguak sisi yang masih samar tentang sosok ini, Suluah.com mencoba menelusuri langsung ke Koto Gadang. Kami bertemu Acu Yet, sepupu Djamalauddin Tamim.

Acu Yet mengantar kami menuju rumahnya. Rumah itu tersuruk dari tepi gang karena tertutup rumah lain yang lebih besar.

"Ini adalah rumah ibu Djamaluddin Tamim, Sabiyah. Suku Koto. Di sinilah Djamaluddin Tamim lahir. Ayahnya bernama Halim," ujar Acu Yet kepada Suluah.com.

Ibu Acu Yet bernama Lawiyah, adik dari Sabiyah. Acu Yet menjadi keturunan penerus yang tinggal di rumah itu karena Sabiyah tidak menurunkan anak perempuan. Seperti diketahui, rumah yang merupakan harta pusaka di Minangkabau diwariskan ke tangan perempuan.

"Djamaluddin Tamim beradik-kakak berempat. Semuanya laki-laki. Angku Gadang, demikian kami menyebutnya, nomor dua," tutur Acu Yet

Sementara itu, anak dan saudara Djamaluddin Tamim sudah tidak ada lagi yang tinggal di Koto Gadang. Kebanyakan di Jakarta.

Djamaluddin Tamim menempuh pendidikan di Padang Panjang. Tamat dari Sekolah Rakyat pada 1913, ia masuk di Sumatera Thawalib.

Selama studinya, ia menonjol sebagai murid yang cerdas dan radikal. Ia juga menaruh perhatian pada pergerakan nasional Indonesia setelah gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy, memperkenalkannya politik.

Pada 1918, pemimpin perguruan, Haji Rasul mempercayakannya sebagai pengajar. Bersama Ahmad Khatib Datuk Batuah, rekan sesama pengajar, ia mendorong murid-murid Thawalib memasuki gelanggang politik. Hal itu membuat mereka berselisih Haji Rasul, yang ingin Thawalib bebas dari aktivitas politik.

Mendirikan Pemandangan Islam

Ketertarikannya terhadap gagasan memadukan komunisme dengan ajaran Islam membuat ia bergabung dengan Sarekat Rakyat (SR) cabang Padang Panjang pada 1922. SR merupakan organisasi pecahan dari Sarekat Islam (SI) yang menjadi cikal bakal PKI

Untuk menyebarkan ide-ide komunis ke para pelajar Thawalib, ia bersama Datuk Batuah mendirikan International Debating Club (IDC), klub debat yang bertempat di kantin sekolah bernama Buffet Merah.

Pada 15 Oktober 1923, mereka mendirikan surat kabar Pemandangan Islam yang “menggabungkan pengetahuan tentang pengaturan masyarakat bagi kepentingan rakyat yang sengsara dan miskin” dengan “kehendak dan tuntutan Islam.”

Pada Desember 1923, polisi Hindia Belanda menangkapnya karena delik pers. Ia dijatuhi hukuman 18 bulan penjara oleh pengadilan dan bebas pada September 1925.

Pelarian di Singapura

Pasca-gagalnya pemberontakan di Silungkang pada malam tahun baru 1927, Djamaluddin Tamim kembali menjadi target penangkapan pemerintah kolonial. Meski demikian, ia berhasil meloloskan diri ke Singapura.

Selanjutnya, ia berangkat menuju Bangkok, Thailand. Pada 2 Juni 1927, bersama Tan Malaka dan Subakat, ia mendirikan PARI sebagai penerus perjuangan PKI. PARI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan cara-cara revolusioner, tetapi tak meninggalkan ideologi komunis sebagai pedoman aksi.

Djamaluddin Tamim mengatur kegiatan PARI di Singapura, Malaysia, dan Hindia Belanda. Ia merekrut dan membina sejumlah kader lewat kursus-kursus "tingkat tinggi”. Pengikutnya yang terkemuka adalah Djamaloeddin Ibrahim dan Kandoer Sutan Rangkayo Basa.

Ia juga mengirim sejumlah orang ke persembunyian Tan Malaka untuk memperoleh pendidikan politik. Seperti halnya Tan Malaka, Djamaluddin Tamim selama pelariannya memiliki banyak nama samaran, seperti Gow, Abdullah, Si Badu, Lookman, Si Besar, Joseph, dan Sulaiman.

Ia amat waspada dari kejaran Departemen Investigasi Kriminal (CID) Singapura: ketika ia merasa terancam, ia lari ke pantai dan menyamar sebagai nelayan atau pelaut.

Menjadi Digulis

Pelarian Djamaluddin Tamim berakhir setelah CID Singapura menangkapnya pada 13 September 1932. Selanjutnya, ia dibawa ke Batavia untuk diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Ia meringkuk dalam penjara selama beberapa bulan, sebelum akhirnya dibuang ke Boven Digul pada 8 Oktober 1933.

Setelah Jepang mendarat di Indonesia, Djamaluddin Tamim bersama beberapa Digulis lainnya dipindahkan ke Brisbane, Australia. Di sini, pada 21 September 1945, ia memimpin Central Komite Indonesia Merdeka (Cenkim) yang ia bentuk bersama Moh. Bondan.

Djamaluddin menginjakkan kakinya ke Tanah Air pada Januari 1946. Berikutnya, ia aktif sebagai anggota Partai Murba dan mendirikan Pustaka Murba untuk menerbitkan tulisan-tulisan Tan Malaka.

Kehidupan Pribadi dan Keluarga

Ia meninggal dunia di Jakarta pada 1 April 1977. Tidak banyak catatan dan dokumentasi mengenai kehidupan pribadi maupun keluarga Djamaluddin Tamim.

Acu Yet mengatakan, Djamaluddin Tamim memiliki delapan orang anak dari istrinya bernama Tudjza Halim. Mereka yakni Yuliasmi, Martini, Nadir, Lunik, Yurri, Irianta, Titi, dan Tinara. [den]

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah
Zukri Saad adalah aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia yang berkiprah dalam gerakan masyarakat sipil di Sumatra Barat
Zukri Saad, Tokoh Gerakan Masyarakat Sipil Sumatra Barat