Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat

Suluah.com – Abdul Hamid Khatib adalah seorang diplomat yang menjadi duta besar pertama Kerajaan Arab Saudi untuk Pakistan (1953–1954). Ia juga dikenal sebagai penulis tafsir Al-Quran lewat karyanya berjudul Al-Khathīb Al-Makkiyy.

Abdul Hamid Khatib merupakan salah seorang dari tiga anak laki-laki Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi, ulama Minangkabau yang menjadi imam mazhab Syafii di Masjidil Haram.

Pendidikan

Abdul Hamid Khatib lahir pada 13 Juli 1898 [Kalender Hijriyah: 24 Safar 1316] sebagai anak Ahmad Khatib Al-Minangkabau dari istri kedua, Fathimah. Fathimah merupakan adik dari istri pertama, Khadijah.

Dari dua istri tersebut, lahir tiga orang anak laki-laki. Mereka yakni Abdul Karim Khatib, Abdul Malik Khatib, dan Abdul Hamid Khatib.

Abdul Hamid Khatib belajar Al-Quran pertama kali kepada ayahnya. Setelah itu, ia belajar kepada ulama-ulama di Masjidil Haram, seperti Muhammad Said bin Muhammad al-Yamani dan Umar bin Abi Bakr Bajunid.

Karier Abdul Hamid Khatib

Lampiran Gambar
Abdul Hamid Khatib (ketiga dari kanan). [Foto: Al-Amiri via Twitter]

Dalam biografinya, Abdul Hamid Khatib menyebut bahwa ia tak pernah berpisah dari sang ayah. Kemana saja sang ayah mengajar atau berpergian, ia ada di situ.

Jelang terjadinya peralihan kekuasan dari Raja Ḥusayn bin Alī kepada putranya, Sharīf Alī bin al-Ḥusayn yang berkuasa di Ḥijāz pada 1926, Abdul Hamid Khatib hijrah ke Kairo, Mesir. Di sana, ia aktif dalam pergerakan dengan memprakarsai berdirinya Jam’iyyah al-Syubbân al-Hijâziyyin (Organisasi Pemuda Hijaz).

Ia juga aktif di kancah politik dengan memelopori berdirinya partai politik di Mesir yang beranggotakan orang-orang yang berasal dari Ḥijāz, bernama dengan Partai Kemerdekaan Ḥijāz. Dalam struktur partai, ia menjabat sebagai wakil ketua umum.

Pandangan politik Abdul Hamid Khatib banyak dimuat di beberapa surat kabar terkemuka Mesir pada masa itu, seperti Al-Ahram, Al-Wathan, dan Al-Muqattam.

Meski sempat menjadi lawan politik Raja Abdul Aziz bin Saud selama di Mesir, Abdul Hamid Khatib memutuskan untuk kembali ke Arab Saudi. Ia mendapat amensti dari kerajaan atas tindakannya yang telah lalu.

Selain itu, Abdul Hamid Khatib mendapat jabatan sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Arab Saudi dari 1936 hingga 1946 serta kesempatan untuk kembali mengajar di kompleks Masjidil Haram.

Kunjungan ke Indonesia dan Wafat

Lampiran Gambar
Abdul Hamid Khatib (kanan). [Foto: Ist.]

Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Raja Abdul Aziz menunjuknya untuk memimpin delegasi mewakili kerajaan untuk menyatakan dan memberikan dukungan kerajaan bagi Indonesia, tepatnya pada 27 Desember 1949.

Pada 1949, Abdul Hamid Khatib melakukan safari ke beberapa kota di Indonesia, khususnya tanah leluhurnya, Minangkabau.

Berikutnya, ia menjadi duta besar Kerajaan Arab Saudi untuk Pakistan pertama dari 1953 sampai 1954. Ia menghabiskan sisa umurnya di Al-Zabadani, salah satu desa di Damaskus, dan meninggal pada 29 Agustus 1961 [Kalender Hijriyah: 18 Rabiulawal 1381].

Keturunan

Lampiran Gambar
Fuad Abdul Hamid Khatib. [Foto: Ist.]

Abdul Hamid Khatib memiliki delapan orang anak laki-laki yakni Aḥmad, Fuād, Sāriah, Yāsir, Usāmah, Ṭāriq, Shuhail dan Abdul Nasir serta sebelas anak-anak perempuan yakni Ḥakīmah, Luṭfiah, Khairiyah, Thasarayā, Hudā, Sāmiyah, Salwā, Rābi'ah, Saḥr, Sahy, dan Hindun.

Salah seorang putrinya, Luṭfiah, merupakan perintis pertama kemajuan wanita Hijaz, yang mendapatkan pelajaran juru rawat di Pakistan. Setelah kembali ke Hijaz, ia menjadi perawat yang masyhur.

Luṭfiah memiliki pergaulan luas dengan kalangan bangsawan di sana. Untuk mewujudkan idenya memajukan wanita Hijaz, ia menulis di surat kabar Al-Bilād, yang terbit di Jeddah pada 1958.

Di surat kabar tersebut, Luṭfiah mengisi ruang khusus Al-Mar'ah fi Baitiha. Di sana, ia mengemukakan bagaimana kiat mendidik anak dan menciptakan rumah tangga yang bahagia.

Karya Abdul Hamid Khatib

Abdul Hamid Khatib diketahui memiliki 14 karya tulis, baik yang telah tercetak maupun yang masih dalam bentuk manuskrip, di antaranya:

Asma ar-Risālāt ― risalah yang mengajak sesama Kaum Muslim untuk menolong agama Islam berikut para pemeluknya. Ia menganggap wajib perlunya bermanfaat kepada sesama Kaum Muslim apakah lewat jalan ilmu dan amal, berdasarkan asas prinsip pokok Islam. Buku ini kelak diterjemahkan oleh Bey Arifin dan diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada 1977 dalam dua jilid.

Ahmad Khatib Ba'its Nahdhah Islamiyah Taharruriyah Fi Indunisiya (1958) ― biografi Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Dalam buku ini, ia menyebutkan bahwa sang ayah memerangi praktik bidah dan khurafat, tetapi tidak mengingkari tarekat sufi yang menyeru pada mengingat Allah dan tetap mengikuti sunnah.

Al-Imām al-'Ādil (1951) ― berisi sejarah hidup Raja Abdul Aziz dan sejarah Ḥijāz dalam setengah abad yang terdiri dari dua jilid. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris

Hal Allah Mustabid? ― membahas hakikat qada dan qadar.

Jauharud Dīn ― kitab ini berisi hal-hal tentang Islam yang sahih, dakwah karena Allah, dan bertauhid kepada-Nya dengan penuh kemurnian.

Baca juga: Abdul Malik Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Aktif di Politik dan Pers

Ta'niyatul Khathīb fī Sīratil Mushthafal Habīb ― kitab yang berisi madah atau puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Kitab ini terbagi atas tiga bagian: "Matā Watsaqta Biqadrika", "Matā 'Arafta Rabbaka", dan "Matā Fahimta Haqīqata Nafsika". Di sini, ia juga menjelaskan pentingnya hasil di akhirat sangat bergantung pada amal seseorang selama di dunia.

Tafsīr al-Khathīb al-Makkiyy (1947) ― isinya tafsir Al-Quran dengan menitikberatkan ke makna secara kebahasaan, penekanan secara substansi, hukum, istinbath dalil, dan metode pemahaman setelah merujuk kepada tafsir-tafsir yang ma'ruf, atau terkenal di dalam dunia Islam. Kitab ini hanya mencakup 13 juz pertama Al-Quran, karena penulisnya meninggal sebelum kitab ini selesai ditulis. [den]

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an
Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah
Zukri Saad adalah aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia yang berkiprah dalam gerakan masyarakat sipil di Sumatra Barat
Zukri Saad, Tokoh Gerakan Masyarakat Sipil Sumatra Barat