Abdul Malik Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Aktif di Politik dan Pers

Masjilid Haram awal abad ke-20

Masjilid Haram awal abad ke-20. [Foto: Ist.]

Suluah.com – Abdul Malik Khatib merupakan salah seorang dari tiga anak laki-laki Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi, ulama Minangkabau yang menjadi imam mazhab Syafii di Masjidil Haram.

Ia aktif dalam politik dan surat kabar yang membawanya mendapat bintang tanda jasa dari pemimpin dunia Arab, Syarif Husain. Kisah hidupnya terdapat di otobiografi Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Kehidupan Awal

Abdul Malik Khatib lahir pada 2 Rabiulawal 1305 sebagai anak Ahmad Khatib Al-Minangkabau dari istri kedua, Fathimah. Fathimah merupakan adik dari istri pertama, Khadijah.

Dari dua istri tersebut, lahir tiga orang anak laki-laki. Mereka yakni Abdul Karim Khatib, Abdul Malik Khatib, dan Abdul Hamid Khatib.

Abdul Malik Khatib mengenyam pendidikan dasar di sekolah orang-orang Melayu. Sang ayah berharap dari pendidikan tersebut anaknya dapat belajar bahasa Melayu

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dalam otobiografinya menyebut, Abdul Malik Khatib sedari kecil tidak menyukai bergurau. "Apabila marah, dia akan memukulkan kepalanya ke dinding," tulis sang ayah.

Dalam belajar, Abdul Malik Khatib begitu sungguh-sungguh sehingga sang guru memperlakukannya dengan lembut.

Belajar Kepada Sang Ayah

Usai menamatkan pelajaran Al-Quran, Abdul Malik Khatib belajar beberapa kitab dasar (matan) dan uraiannya (syarah) kepada ayahnya sendiri.

"Saya melihat dia cerdas dan pintar serta mencitnai ilmu. Bahkan apabila aku masuk ke kamar istirahat, maka dia berdiri di depan pintu dan bertanya berbagai permasalahan yang rumit," tulis sang ayah.

Di bawah asuhan sang ayah, ia mempelajari berbagai ilmu keislaman, seperti nahwu, sharaf, fikih, ushul fikih, mantik, ma'ani, bayan, dan hisab. Dia belajar dengan tekun hingga sang ayah akhirnya memberi kepercayaan kepadanya untuk mengajar.

"Maka, Abdul Malik Khatib mulai mengajar di rumah (dalam) bidang nahwu, fikih, bayan dengan bahasa dan penyampaian yang baik disertai kecerdasan," tulis Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Harapan Sang Ayah dan Kunjungan ke Indonesia

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menaruh harapan besar kepada Abdul Malik Khatib agar kelak dapat menjadi penggantinya setelah ia wafat.

Keadaan berubah, tulis sang ayah, setelah anaknya itu meminta izin pergi ke Indonesia "untuk mengenal teman-temannya".

"Maka, ia berangkat pada 1327 H. Tujuanku supaya ia mengetahui kemuliaan ilmu, karena masyarakat sangat menghormati orang alim, sehingga anakku istiqamah dalam menempuh jalan keulamaan, serta agar dia mencari istri dari Indonesia, dan kalau dari karib kerabat tentu lebih baik."

"Sesungguhnya orang tua menyukai yang lebih baik untuk anaknya, sebagaimana dimaklumi semua orang."

Begitu ia di Indonesia, semua orang memberi penghormatan, termasuk para penguasa. Ia pun menjadi tempat bertanya tentang berbagai masalah yang berat.

"Ia memberi jawaban yang memuaskan sehingga ia menjadi terkenal dengan ilmu pengetahuannya dan bahkan ditawari kekuasaan serta anak-anak perempuan. Hingga para pedagang kaya melamarnya karena senang padanya dan juga pada saya hingga akan disediakan rumah dan keperluan baik di Indonesia ataupun di Mekkah."

Bergelut di Pers dan Poltiik

Selepas kunjungan ke Indonesia, Abdul Malik Khatib mulai sibuk dengan para pejabat. Pejabat Indonesia kerap memintanya untuk mendampingi mereka ke Baitul Maqdis, ke Madinah, dan Mekkah.

Selain itu, ia mulai tertarik dengan jurnalistik dan politik. Ia pergi ke Syam, berkenalan dengan para wartawan dan akhirnya menikah dengan keluarga Syekh Abdullah, tokoh di negeri tersebut.

"Semuanya berubah," tulis sang ayah yang merasa anaknya telah meninggalkan ilmu pengetahuan dan sibuk dengan politik serta jurnalistik.

Meskipun tidak mewujudkan harapan sang ayah sepenuhnya, Abdul Malik Khatib bersungguh-sungguh dalam bidang yang ia geluti dan memberi kontribusi bagi kebangunan bangsa Arab. Hal itu diungkapkan oleh Abdul Hamid Khatib, adiknya.

Baca juga: Pandangan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Terhadap Wahabi

"Banyak jasanya dalam kebangunan bangsa Arab sehingga ia mendapat bintang tanda berjasa dari Raja Al-Husain (dan) mendapat gelar kebangsawanan (Basya) dari Abdullah dari Urdun," tulis Abdul Hamid Khatib.

Abdul Malik Khatib wafat pada 23 Juni 1946 di Mesir. Ia meninggalkan dua anak perempuan, yaitu Zakiyah dan Samirah, serta empat anak laki-laki, yaitu Aziz, Samik, Isham, dan Nizhar. Semuanya menetap dan bekerja serta menjadi warga negara Mesir. [den]

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an
Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah