Suluah.com – Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983. Penelitiannya terutama berkaitan dengan sejarah Gerakan 30 September (G30S) dan serangkaian peristiwa yang menyertainya.
Asvi konsisten menapaki jalan pelurusan sejarah Indonesia dengan menerbitkan beberapa buku terkait pelanggaran HAM di Indonesia dan pemutarbalikan fakta pada masa Orde Baru.
Kehidupan Awal
Asvi Warman Adam lahir pada 8 Oktober 1954 di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Adam Sutan Djamaris (ayah) dan Meimunah (ibu).
Kakak Asvi bernama Asrif Adam, seorang jaksa tinggi yang terakhir berdinas di Kota Yogyakarta; dan Aswarni Adam, seorang ahli hukum yang menjadi guru besar perempuan pertama di Universitas Riau.
Asvi mengenyam pendidikan di jenjang sekolah berafiliasi Katolik mulai dari TK hingga SMA.
"Ayah sebenarnya adalah orang Muhammadiyah. Pilihan ke sekolah berafiliasi Katolik karena (di sana) ketat soal disiplin waktu," ujar Asvi kepada Suluah.com.
Meski demikian, Asvi tak lupa mengaji. Ruko tempat keluarganya tinggal berada dekat Masjid Raya Bukittinggi. Di sanalah, Asvi kecil mengaji tiap sore.
Dari Sastra Prancis ke Sejarah
Asvi Warman Adam meraih gelar sarjana muda Sastra Prancis dari Universitas Gadjah Mada pada 1977 dan gelar sarjana penuh di bidang yang sama dari Universitas Indonesia pada 1980.
"Setelah lulus, mula-mula bekerja sebagai wartawan di majalah Sportif dengan jabatan terakhir sebagai redaktur pelaksana," tutur Asvi
Namun, setelah tiga tahun bekerja, ia merasa karier kewartawanannya mentok sehingga ia melamar ke LIPI. Begitu diterima, ia mendapat tugas sebagai penerjemah beberapa buku berbahasa Prancis.
Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi Jawa karangan Claude Guillot adalah di antara buku terjemahan yang ia kerjakan. Selama proses penerjemahan, ia sering berkorespondensi dengan Claude Guillot.
"Pada 1984, atas tawaran Claude Guillot, saya menjadi pengajar bahasa Indonesia di Institut Bahasa-bahasa Timur di Paris. Sambil mengajar, saya mengambil S-2 dan S-3 di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS)," jelas Asvi
Di bawah bimbingan sejarawan Prancis Denys Lombard, Asvi mulai fokus menggeluti sejarah. Ia aktif dalam penelitian sejarah dengan pendekatan nouvelle histoire atau sejarah baru.
"Pendekatan tersebut menawarkan penulisan sejarah yang lebih luas dan manusiawi, bukan lagi semata-mata narasi mengenai kejadian-kejadian, tetapi analisis mengenai struktur," imbuhnya.
Kiprah Asvi Warman Adam
Pada 1990, Asvi Warman Adam merampungkan studinya di EHESS. Penelitiannya yakni tentang hubungan antara Pulau Jawa dengan Vietnam dan Kamboja pada masa kolonial Belanda. Sepulangnya ke Indonesia, Asvi aktif menulis mengenai sejarah hubungan Indo-China dengan ASEAN yang dipublikasikan secara berkala di surat kabar Kompas dan Suara Merdeka.
Pada 1993, ia diangkat menjadi Koordinator Penelitian Asia Tenggara pada Penelitian Politik dan Kewilayahan LIPI. Pada 1996, ia bergabung dengan organisasi Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), tampil menyuarakan keleluasaan dan kebebasan kepada masyarakat dalam menulis fakta-fakta sejarah agar sejarah tidak hanya muncul dalam satu versi saja, yakni dari pemerintah.
Selepas reformasi, ia aktif menulis tentang sejarah Orde Baru. Ia mulai mengembangkan wacana tentang pelurusan sejarah Indonesia serta penulisan historiografi Indonesia dari perspektif korban. Upaya ini ia mulai dengan menulis ulang tentang G30S.
Asvi tidak hanya mengupas mengenai peristiwa satu malam pada 30 September semata, tetapi juga berbagai peristiwa yang menyertainya, seperti penangkapan, penahanan, pembunuhan massal, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri, dan pembuangan paksa 10.000 tahanan politik ke Pulau Buru. Ia menyebut rangkaian peristiwa itu pancalogi dalam rangkaian prolog, peristiwa, dan epilog G30S.
Menulis dengan Perspektif Korban
Asvi Warman Adam memberi pembelaannya terhadap korban-korban pasca-G30S. Meski demikian, ia sama sekali tidak pernah membenarkan gerakan yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut.
Tulisannya yang mengangkat perspektif korban membuatnya kerap diundang untuk menjadi pembicara dalam berbagai forum seminar baik dalam maupun luar negeri. Namun, tak jarang pula, ia mendapat teror melalui telepon dan pesan singkat. Bahkan, ia pernah menerima ancaman pembunuhan dan label sebagai seorang komunis.
Meski demikian, bagi Asvi, hal itu tak menyurutkan semangatnya. Ia menilai sejarah harus menjadi alat pembebasan kesalahan kolektif pada masa lalu, bukan legitimasi untuk menindas kelompok tertentu.
Asvi termasuk tokoh yang menyuarakan penolakan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Pada 2003, ia menjadi anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto di bawah Komnas HAM.
Menurut Asvi, untuk mengangkat Soeharto menjadi pahlawan, perlu penuntasan terhadap kasus-kasus yang menjeratnya. Pada November 2015, ia hadir sebagai saksi ahli di Pengadilan Rakyat Internasional, Den Haag, Belanda untuk menjelaskan peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa Orde Baru.
Capaian dan Penghargaan
Pada 26 Juli 2018, LIPI mengukuhkan Asvi Warman Adam sebagai profesor riset. Dalam pengukuhannya, ia menyampaikan orasi berjudul "Dampak G30S Setengah Abad Historiografi Gerakan 30 September 1965".
Pada 26 Agustus 2020, atas jasanya dalam pelurusan sejarah, ia dianugerahi Tanda Kehormatan Satya Lencana Wira Karya oleh Presiden Joko Widodo.
Asvi dinilai berjasa memulihkan nama baik mantan Presiden Soekarno yang dijatuhkan pada masa Orde Baru, mencanangkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila (disahkan pada 2016), dan mengusulkan adanya Pahlawan Nasional dari kalangan Tionghoa (ditandai dengan pengangkatan John Lie pada 2009).
Saat ini, Asvi tinggal di Mampang Prapatan, Jakarta bersama sang istri, Nuzli Hayati. Pasangan ini dikaruniai seorang anak, yakni Tessi Fathia Adam. [den]