Ahmad Khatib Datuk Batuah, Dari Sarekat Islam ke PKI

Ahmad Khatib Datuk Batuah adalah seorang guru agama dan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) terkemuka di Sumatra Barat pada awal abad ke-20.

Ahmad Khatib Datuk Batuah (kanan). [Foto: Ist.]

Suluah.com – Ahmad Khatib Datuk Batuah adalah seorang guru agama dan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) terkemuka di Sumatra Barat (Sumbar) pada awal abad ke-20.

Di tangannya, ia memadukan Islam dan komunisme sebagai ideologi perlawanan dan wadah perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Ia menyebarkan paham komunisme Islamnya di kalangan pelajar Sumatra Thawalib Padang Panjang, tempat ia belajar dulunya dan menjadi pengajar.

Kehidupan Awal

Dikutip dari Cekricek.id, Ahmad Khatib Datuk Batuah lahir sekitar tahun 1895 di Nagari Koto Laweh, dekat Padang Panjang, Sumbar. Ia adalah anak kedua dari empat bersaudara pasangan Syekh Gunung Rajo, seorang pemimpin Tarekat Syattariyah di Gunung Rajo, dan Saidah yang bersuku Guci. Saudara-saudaranya yakni Sanah (kakak) dan Jamaliah (adik). Gelar datuk yang melekat pada namanya ia sandang sejak masih berusia lima tahun.

Sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau, Datuk Batuah melewati masa kecilnya di surau untuk mengaji, berlatih silat, dan tidur pada malam hari. Sementara itu, pendidikan formalnya ditempuh di sekolah pemerintah Hindia Belanda mulai dari jenjang Volkschool hingga MULO.

Perantauan dan Karier

Pada 1909, Ahmad Khatib Datuk Batuah merantau ke Mekkah, Arab Saudi. Selama enam tahun, ia bermukim dan belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang ulama asal Koto Tuo, Agam yang menjadi Imam Besar di Masjidil Haram.

Begitu kembali ke Padang Panjang, ia menjadi murid Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul di Surau Jembatan Besi Padang Panjang (yang kelak bertransformasi menjadi Sumatra Thawalib). Berkat kecerdasannya, ayah Buya Hamka tersebut mempercayakannya menjadi guru bantu.

Pada 1918, ketika Sumatra Thawalib Padang Panjang menerbitkan majalah Al-Munir Al-Manar, Datuk Batuah terlibat sebagai pembantu tetap.

Memasuki tahun 1920, Datuk Batuah melakukan perjalanan ke sejumlah daerah di Sumatra dan Jawa. Ia mendapat tugas dari Haji Rasul untuk meninjau keadaan Thawalib di Banda Aceh. Dalam perjalanan, ia bertemu Natar Zainuddin yang mengenalkannya ajaran komunisme.

Dari Banda Aceh, mereka bertolak menuju Bandung untuk menghadiri Kongres Sarekat Islam (SI) Merah pada Maret 1923. Di sana, Datuk Batuah berkenalan dengan Haji Misbach dan terkesan pada pandangannya yang memadukan komunisme ke dalam Islam.

Menjadi Propagandis Komunis

Sekembalinya ke Padang Panjang pada September 1923, Ahmad Khatib Datuk Batuah aktif menyebarkan pandangan kuminih-nya ke para pelajar Thawalib.

Bersama Djamaluddin Tamim, ia mendirikan International Debating Club (IDC), klub debat yang bertempat di kantin sekolah bernama Buffet Merah. Mereka juga mendirikan surat kabar Pemandangan Islam sebagai corong pemikiran mereka.

Lewat berbagai aktivitasnya, Datuk Batuah mencoba membangkitkan kesadaran melawan kolonialisme Belanda dengan Islam sebagai ideologi perlawanan dan komunisme sebagai wadah perjuangan.

Meski memperoleh banyak pengikut, ajaran Datuk Batuah mendapat perlawanan sengit dari guru-guru di Thawalib. Besarnya pengaruh komunis di kalangan pelajar menimbulkan kekhawatiran para guru di sana. Haji Rasul terpaksa hengkang dari perguruan yang ia pimpin tersebut.

Pengasingan ke Digoel

Di sisi lain, aktivitas Datuk Batuah membuat gursar pemerintah kolonial yang berkuasa. Puncaknya, pada 4 November 1923, ia mendeklarasikan Sarekat Rakyat (SR) cabang Padang Panjang. SR merupakan organisasi pecahan dari SI yang menjadi cikal bakal PKI.

Tak lama setelah deklarasi SR Padang Panjang, Datuk Batuah bersama Natar Zainudin dicokok oleh aparat kepolisian Belanda pada 11 November 1923.

Mereka ditahan selama setahun di Padang Panjang sebelum dipindahkan ke penjara di Padang. Polisi Hindia Belanda menjerat mereka dengan undang-undang penyiaran pers (persdelict) lantaran menganggap tulisan mereka menghasut dan memusuhi pemerintah.

Polisi Hindia Belanda awalnya mengasingkan Datuk Batuah ke Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur pada 1925, lalu ke Boven Digoel pada 1927.

Akhir Kehidupan

Ketika Belanda melarikan diri ke Australia akibat serbuan Jepang, Ahmad Khatib Datuk Batuah dan para tahanan lainnya ikut diungsikan. Ia sampai di Australia pada 1943.

Baca juga: Fikrul Hanif Sufyan, Menulis Sejarah Pergerakan di Sumatra Barat

Datuk Batuah menghirup udara bebas setelah pemerintah Australia memulangkannya ke Indonesia pada awal kemerdekaan Indonesia. Setelah itu, ia kembali ke kampung halamannya hingga meninggal dunia pada 1949.

Semasa hidup, ia memiliki dua orang istri, yakni Saadiah dan Zainab, keduanya berasal dari Koto Laweh. Ia memiliki tiga orang anak dari istri pertama yakni Lenin, Syaukani, Nabawiyah serta seorang anak dari istri kedua bernama Kartini. [den]

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an
Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah