Suluah.com – Tabuah adalah alat bunyi tradisional Minangkabau. Bentuknya mrip dengan gendang, tetapi memanjang. Tabuah juga mirip dengan bedug yang dikenal di tempat lain di Indonesia.
Tabuah telah ada sejak ribuan tahun lalu. Fungsinya sebagai alat komunikasi. Tabuah masih dapat kita jumpai hingga sekarang, terutama di surau atau masjid tua yang ada di Sumatra Barat (Sumbar).
Pembuatan Tabuah
Tabuah terbuat dari batang pohon utuh yang dilubangi sehingga bentuknya seperti tabung. Batang pohon yang menjadi bahan utama pembuatan tabuah harus berukuran panjang.
Diameter tabuah bervariasi. Ujung batang pohon yang berdiameter lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang telah dikeringkan, biasanya sapi (atau jawi dalam bahasa Minang).
Kulit direntangkan hingga sisi tabuah tertutup sepenuhnya dan dilebihkan 10-15 cm untuk diikat dengan tali ke badan batang pohon.
Kerasnya suara tabuah ditentukan oleh besar volume batang pohon yang digunakan dan kualitas kulit penutupnya.
Tabuah diletakkan di tempat terlindung yang dinaungi atap yang disebut dengan rumah tabuah. Hal itu bertujuan melindungi tabuah dari terik panas dan hujan.
Fungsi Tabuah
Tabuah umumnya dapat kita jumpai di surau atau masjid. Dahulu, sebelum ada alat pengeras suara, tabuah dipukul untuk menandakan masuknya waktu salat.
Tabuah juga berfungsi sebagai alarm ketika adanya peristiwa genting. Dalam catatan koran-koran lama kerap diberitakan bahwa tabuah dipukul saat peristiwa pencurian terjadi. Seperti kutipan berita surat kabar De Locomotief pada 3 Desember 1927 berikut ini:
Sekira pukul sebelas malam tadi, warga Pampangan dan sekitarnya, yang terletak di Lubuk Begalung, dikejutkan oleh alarm berupa dipukulnya tabuah. Orang-orang berbondong-bondong dari semua sisi untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Pembuat alarm itu ternyata seorang warga bernama Djalani. Dia melaporkan bahwa perampok telah merangsek ke rumahnya dan kabur dengan membawa uang dan perhiasan.
Tabuah Larangan
Tabuah tidak hanya terdapat di surau atau masjid, tetapi juga terdapat di istana. Tabuah istana biasanya dinamakan tabuah larangan, sebab tidak boleh sembarang orang memukulnya. Hanya raja atau orang tertentu yang dapat memukulnya.
Tabuah larangan misalnya terdapat di Istano Silinduang Bulan. Di sini, terdapat dua tabuah larangan, yang memiliki nama dan fungsi berbeda. Keduanya yakni "tabuah mambang di awan" dan "tabuah gagah di bumi".
Tambauh mambang di awan memberi tahu kabar baik, seperti adanya perayaan atau upcara adat. Adapun tabuah gagah di bumi menginformasikan telah terjadinya bencana alam atau kematian.
Tabuah dalam Perang
Sewaktu meletusnya Perang Kamang pada 1908, tabuah dibunyikan dari berbagai surau dan masjid sebagai alarm bersiap menghadapi perang melawan Balanda. Kisah itu dicatat oleh Bukhari Nurdin dan Thahar Ramli dalam Perlawanan Rakyat Kamang Menentang Belanda Tahun 1908 (2002).
Angku Rumah Gadang, anggota pasukan Haji Abdul Manan pemimpin Perang Kamang, membunyikan tabuah saat pasukan Belanda memasuki Kamang.
Tabuah berdentum tiga kali, diikuti oleh suara kentongan dari berbagai rumah. Selanjutnya, terdengar sayup-sayup suara tabuah balasan dari berbagai penjuru. Bunyi tabuah terdengar bersahut-sahutan dari arah Pauh dan Magek.
Tak lama berselang, para pejuang berpakaian putih-putih dengan menghunus ruduih telah siaga di sekitar rumah Haji Abdul Manan untuk melawan pasukan Belanda.
Tabuah Saat Ini
Di tengah kemajuan teknologi informasi, fungsi tabuah sudah tergantikan oleh alat pengeras suara. Namun, sejumlah surau dan masjid tua di Minangkabau masih mempetahankan keberadaan tabuah.
Tabuah-tabuah tersebut terdapat di selasar atau halaman masjid. Tabuah di halaman biasanya diletakkan di tempat terlindung yang dinamakan rumah tabuah.
Beberapa foto tabuah di Minangkabau pada masa kolonial Belanda tersimpan di KITLV dengan judul "taboe" atau spleettrom (bahasa Belanda yang berarti gendang). [den]