Suluah.com – Masjid Raya Piladang terletak di Jorong Piladang, Nagari Koto Tangah Batu Hampa, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat (Sumbar). Masjid ini menjadi saksi peristiwa serangan Belanda di Piladang pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Serangan itu terjadi pada 5 Februari 1949, bertepatan dengan hari Jumat. Meski berada di tengah ancaman nyawa dari tentara Belanda, masyarakat Piladang tetap melaksanakan Shalat Jumat di masjid ini.
Sejarah Masjid Raya Piladang
Ada dua versi tahun pendirian Masjid Raya Piladang. Menurut catatan Kementerian Agama RI, masjid ini berdiri pada tahun 1884. Sementara itu, sumber lain menyebutkan pembangunannya sudah berlangsung sejak 1879.
Dua versi itu sebenarnya tidak terpaut jauh. Artinya, usia Masjid Raya Piladang saat ini sudah lebih dari 130 tahun.
Masjid ini berdiri di atas lahan seluas 968 m². Denah bangunan berbentuk persegi dengan luas 600 m². Pada sisi barat sejajar dengan mihrab, terdapat bangunan memanjang bertingkat dua yang merupakan bangunan awal masjid.
Material bangunan sudah menggunakan beton. Namun, pada 30 September 2009, masjid ini mengalami kerusakan cukup berat akibat gempa bumi yang mengguncang Sumbar.
Selama beberapa tahun pasca-gempa, masjid ini berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Dinding-dindingnya banyak yang retak. Bangunan yang sudah mulai tak kokoh membuat jemaah khawatir untuk beribadah di dalamnya.
Pada 2017, renovasi masjid ini mulai dilakukan. Renovasi tersebut meliputi pemasangan plafon, perbaikan kubah, perbaikan dinding, dan penggantian keramik.
Saksi Peristiwa PDRI
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II. Ibu kota Republik Indonesia yang kala itu berada di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Selanjutnya, pada 22 Desember 1948, Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan PDRI di Bukittinggi. PDRI menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih berdiri. Belanda yang panik atas kemunculan PDRI dengan segenap upaya melumpuhkannya.
Selama PDRI berlangsung, Belanda menyerang sejumlah nagari di Minangkabau. Serangan itu mengakibatkan fasilitas umum dan rumah penduduk hancur.
Pada 5 Februari 1949, bertepatan dengan hari Jumat, pasukan Belanda menyerang Nagari Piladang. Dengan menggunakan senjata api, mereka menembaki rumah-rumah penduduk.
Saat itu, Pasar Piladang yang terletak 400 m dari masjid terpaksa tutup. Banyak penduduk mengosongkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri. Serangan Belanda terus berlangsung hingga memasuki waktu Shalat Jumat.
Meski begitu, pelaksanaan Shalat Jumat di Masjid Raya Piladang tetap berlangsung dengan kewaspadaan ketat. Padahal, tentara Belanda di luar masjid masih saja melepaskan tembakan mereka ke rumah-rumah warga.
Baca juga: Masjid Raya Cupak, Pernah Dihancurkan Belanda dan Peran Buya Hamka
Khutbah di Masjid Raya Piladang disampaikan oleh Chatib Arifin. Ia membakar semangat perlawanan terhadap tentara Belanda dan pantang menyerah.
Sampai sekarang, peristiwa ini masih diingat oleh masyarakat Piladang. Terdapat foto di dinding Masjid Raya Piladang yang mengabadikan penduduk Piladang berfoto di masjid ketika perang yang sedang berlangsung. [den]