Suluah.com – Banda Neira (atau dikenal sebagai Pulao Neira) adalah nama pulau di Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, Indonesia. Sebagai wilayah administratif, ia merupakan pusat Kecamatan Banda.
Berada di tengah gugusan Kepulauan Banda, Banda Neira bertetangga dengan Paulau Banda Api sekitar 100 meter di sebelah barat, dan Pulau Lontor sekitar 1,5 km di sebelah selatan. Titik tertinggi di pulau berada di Gunung Papenberg dengan ketinggian 250 meter.
Kepulauan Banda dikenal sebagai penghasil pala. Tumbuhan ini membawa kekayaan bagi para penduduknya. Namun, ternyata pala pula yang membuat Banda diperebutkan.
Banda menjadi sumber rempah-rempah yang bernilai tinggi itu di bangsa Eropa. Pada tahun 1512, Portugis berlayar ke Kepulauan Banda, setahun setelah Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka, yang pada saat itu merupakan pusat perdagangan Asia.
Selanjutnya, pada tahun 1529, bangsa Portugis kembali datang di bawah pimpinan Kapten Garcia. Ia berusaha membangun benteng di Banda Neira. Namun, kedatangan Garcia dan krunya dihadang oleh penduduk Banda Neira, sehingga mereka terpaksa membatalkan rencana mereka.
Pada tahun 1605, Belanda datang untuk menyingkirkan Portugis. Belanda membangun hubungan persahabatan dengan penduduk Banda dan diizinkan untuk mendirikan pos perdagangan.
VOC membuat perjanjian dengan warga Banda yang mengharuskan mereka untuk menjual pala hanya kepada VOC. Namun, pada tahun 1609, Orang Kaya di Banda Neira memberontak melawan upaya Belanda monopoli perdagangan rempah-rempah. Pertempuran pecah dan mengakibatkan 30 orang Belanda tewas.
Akibat dari peristiwa tersebut, Belanda melancarkan serangan brutal terhadap penduduk Kepulauan Banda. Benteng Belgica dibangun pada tahun 1611 untuk mengintimidasi Orang Kaya dan Inggris, yang telah mendirikan benteng di Pulau Run .
Kota modern Banda didirikan oleh VOC, setelah membantai penduduk Banda untuk mendapatkan palanya pada tahun 1621. Jan Pieterszoon Coen menyerbu pulau-pulau dan memulai kampanye untuk melakukan genosida terhadap penduduk setempat. Penduduk yang tersisa dibawa ke Batavia (kini Jakarta) untuk dijadikan budak.
Untuk menjaga agar kepulauan tetap produktif, VOC menghuni kembali pulau-pulau tersebut (termasuk Banda Neira), sebagian besar dengan budak yang diambil dari wilayah Indonesia sekarang, India, dan pantai Cina untuk bekerja di bawah komando penanam Belanda.
Penduduk asli diperbudak dan diperintahkan untuk mengajar para pendatang baru tentang pertanian pala dan bunga pala. Perlakuan terhadap budak sangat parah — populasi asli orang Banda turun menjadi seratus pada tahun 1681, dan 200 budak diimpor setiap tahun untuk menjaga populasi budak tetap stabil pada angka 4.000.
Selama masa Belanda, aktivis pro-kemerdekaan Tjipto Mangoenkoesoemo, Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta menghabiskan waktu pengasingan mereka di Banda Neira.
Belanda terus menguasai Pulau Banda sampai tahun 1949, meskipun kepentingan ekonomi pala dan bunga pala menurun drastis akibat.
Belanda kehilangan monopoli pala setelah Inggris berhasil menanam pohon pala di belahan dunia lain (terutama Penang dan Grenada). Setelah kemerdekaan Indonesia, Banda menjadi bagian dari provinsi Maluku, Indonesia. [den]