Suluah.com – Masjid ini selalu ramai didatangi jemaah. Bangunannya tampil perkasa dengan dinding berlapis marmer. Saat pembangunannya selesai pada tahun 1987, ia disebut bagaikan "gedung supermarket yang mewah".
Itulah Masjid Taqwa Muhammadiyah, salah satu masjid terbesar di Padang. Letaknya tak jauh dari Pasar Raya Padang.
Masjid ini menjadi bukti eksistensi keberadaan organisasi Muhammadiyah di Padang. Di tengah hiruk pikuk zaman, ia terus mengumandangkan seruan kepada umat untuk memenuhi panggilan Tuhan.
Sejarah Muhammadiyah di Pasar Jao
Muhammadiyah memiliki akar yang panjang di Minangkabau. Organisasi itu didirikan oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Pada tahun 1917, seorang ulama asal Minangkabau, Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) berkunjung ke Jawa dan berjumpa dengan Ahmad Dahlan. Ia tertarik dengan ide-ide Muhammadiya dan membawanya ke Minangkabau
Cabang Muhammadiyah pertama di Minangkabau didirikan oleh Abdul Karim Amrullah di kampung halamannya, Nagari Sungai Batang pada tanggal 29 Mei 1925. Dari sana, ide-ide Muhammadiyah menyebar ke seluruh Minangkabau.
Di Padang, Muhammadiyah tidak hanya memiliki cabang semata. Masyarakat berlomba mendirikan kelompok atau ranting di setiap kampung. Pada 1952, sebuah kelompok (ranting) Muhammadiyah di Pasar Jao dibentuk dan mengadakan kajian.
Hasan Herbalis adalah penggagas pengajian tersebut. Ia adalah imigran asal Benua India. Aktivitas pengajian dilaksakan dua kali seminggu di Masjid Nurul Islam yang kini dikenal sebagai Masjid Kampung Jao Dalam.
Namun, pada tahun 1956, pengajian mereka ditentang oleh masyarakat sekitar karena dinilai telah mencampuri urusan adat istiadat mereka. Untuk tidak menimbulkan pertikaian, maka kegiatan pengajian dialihkan ke los (kedai) bada milik seorang bernama Bilal. Los tersebut berada di belakang Blok A, Pasar Raya Padang
Mulai Membangun Masjid
Menghindari penolakan masyarakat di Masjid Kampung Jao Dalam, ranting Muhammadiyah di Pasar Jao mencoba mencari tempat untuk kelangsungan aktivitas mereka. Pada 1957, situasi Padang mulai bergejolak akibat konflik daerah dan pusat. Puncaknya, terjadi peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang membuat tentara pusat mengepung Padang dan mengambil alih kota.
Banyak bangunan yang ditinggalkan pemiliknya, termasuk toko di sekitar pasar. Melihat ada satu toko yang roboh dan tidak digunakan lagi, anggota pengajian Hasan Herbalis mencoba meminta izin pada pemerintah untuk mendirikan rumah ibadah di atas tanah bekas toko.
Setelah mengantongi izin, mereka mendirikan sebuah surau berukuran 9 × 12 meter dengan lantai dan dinding terbuat dari papan. Melihat ramainya jamaah yang melaksanakan ibadah di surau tersebut, maka pada tahun 1960 dibentuk panitia untuk meningkatkan konstruksi surau, dan dicapai kesepakatan untuk membangun Masjid Raya Muhammadiyah.
Pada tahun 1961, pembangunan masjid mulai dilakukan. Bangunan masjid terdiri dari dua tingkat dengan ciri khas kubah berbentuk bawang. Di masjid inilah, Pusat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatra Barat berkantor untuk berikutnya.
Runtuhnya Kubah dan Pembangunan Kembali.
Pada tahun 1975, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menunjuk Padang sebagai tuan rumah muktamar Muhammadiyah se-Indonesia. Namun, jelang persiapan acara, sebuah peristiwa menggemparkan terjadi
Pada 6 Januari 1975, kubah besar yang memahkotai bangunan masjid ini secara tiba-tiba roboh tanpa diketahui sebab yang jelas. Reruntuhan kubah menghimpit dua lantai bangunan di bawahnya dan menimpa beberapa jamaah yang sedang salat.
Beruntung jamaah yang tertimpa itu tidak meninggal. Salah seorang yang menjadi saksi hidup peristiwa tersebut adalah Abdurrahman Chan, kini didapuk sebagai pengurus.
Runtuhnya kubah membuat masjid tidak bisa digunakan lagi untuk kegiatan kongres. Syukurnya, berkat bantuan pemerintah daerah dan Muhammadiyah itu sendiri, kegiatan tetap digelar di bangunan toko di sekitar masjid.
Hasil Muktamar Muhammadiyah di Padang memutuskan pembangunan Masjid Raya Muhammadiyah sebagai proyek nasional. Jemaah Muhammadiyah dari daerah lain ikut berpartisipasi dalam pembangunan kembali masjid ini.
Pada tahun 1977, pembangunan awal masjid mulai dilakukan. Tak tanggung-tanggung, panitia memesan secara khusus rancangan masjid yang akan dibangun kepada PT Desicona Associate (Degigras), biro arsitek di Bandung pimpinan Ismet Darwis
Hasilnya, sebuah rancangan yang belum pernah ada pada bangunan masjid sebelumnya disiapkan. Bangunan dua lantai yang jauh dari konsep masjid pada umumnya, berbentuk persegi panjang tanpa kubah. Tampilannya ditandai dengan dinding berlapis marmer dipadukan dengan bukaan yang lebar.
Arsitektur Modern ala Supermarket
Meski tanpa kubah, ada bentuk yang menjadi ciri khas puncak bangunan, tepatnya di bagian yang membentuk sudut. Bentuk itu berupa segitiga ke atas mirip gonjong, tapi tidak runcing. Mirip seperti gedung-gedung raksasa di Kampus Universitas Andalas, Limau Manis.
Pada 1987, masjid akhirnya dapat kembali digunakan sebagai tempat ibadah dan mengembangkan ajaran agama. Panitia menyematkan nama baru untuk masjid, yakni Masjid Taqwa Muhammadiyah.
Untuk ukuran pada saat itu, Masjid Taqwa Muhammadiyah tergolong megah. Suara Muhammadiyah pada edisi tahun 1990 menggambarkan tampilan masjid ini terlihat seperti "gedung supermarket yang mewah" atau "gedung perkantoran yang modern".
Jauh dari pakem, arsitektur Masjid Taqwa Muhammadiyah jauh belakangan menuai polemik. Banyak yang mengatakan bangunannya tidak berbentuk masjid lantaran tidak berkubah.
Berangkat dari hal tersebut, sekitar tahun 2000 pengurus memutuskan untuk membangun menara. Menara dibangun di sisi samping kanan
Berikutnya, pengurus berencana menambahkan kubah raksasa pada bangunan utama. Namun, pemasangan kubah gagal karena insiden konstruksi. Tak ingin mengulang peristiwa lampau, rencana pemasangan kubah diganti dengan atap limas yang kita lihat saat sekarang. [den]