Ayah Hamka menerima dua pucuk surat, yakni dari Rahmah El Yunusiyah di Padang Panjang bertanggal 22 September 1928 dan Siti Afifah di Sungai Batang bertanggal 20 Oktober 1928. Apa isinya?
Suluah.com – Kedua surat yang hanya berselang waktu sebulan ini ditemukan di Khutub Khanah, perpustakaan peninggalan Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul, ayah Buya Hamka. Isinya, ingin “memperebutkan” Haji Rasul untuk memberikan siraman rohani di kalangan kaum wanita.
“….akan dapat Ayahanda datang ke Padang Panjang pada hari Sabtu tanggal 29 September ini buat memperlihatkan hati yang suci muka yang cerah memberi pelajaran kepada kami kaum ibu di Padang Panjang. Bagaimana siang hari sudah jadi angan-angan, malam sudah jadi mimpi oleh segala kami kaum ibu di sana akan memperoleh nasehat-nasehat agama…,” begitu isi surat Rahmah El Yunusiyah kepada Haji Rasul.
Surat ini dikirim lima tahun setelah Haji Rasul meninggalkan Padang Panjang dan kembali ke kampung halamannya di Sungai Batang. Pada 1923, ketika gerakan pembaruannya telah tersebar luas dan berpengaruh pada khalayak ramai di Minangkabau serta ketika Sumatra Thawalib telah berhasil melahirkan banyak generasi ulama reformis, Haji Rasul memilih kembali ke kampung halaman di Sungai Batang, Maninjau.
Namun demikian, masyarakat Padang Panjang sudah terlanjur cinta, sehingga “siang hari sudah jadi angan-angan, malam sudah jadi mimpi”, menanggung rindu akan wejangan dari Haji Rasul.
Hal yang sama juga dirasakan oleh kaum ibu yang ada di Sungai Batang. Malahan, kaum ibu di Sungai Batang merasa lebih berhak “mendapatkan” Haji Rasul dibandingkan kaum ibu di Padang Panjang. Oleh karena itu, Siti Afifah sebagai wakil kaum ibu di Sungai Batang mengirim surat kepada Haji Rasul.
Begini isi surat Siti Afifah:
Anku!! Dengan hati yang terkejut dan tercampur saya mempermalamkan kepada paduka Anku. Bahawa kami segala murid daripada Anku, bahagian juru yang labuh, (se)sungguhnya amat berserah hati. Yang mana disebabkan mendengar dan memperhatikan persoalan dari pada paduka Anku sendiri waktu Minggu yang lalu di Masjid Labuah.
Persoalan mana? Oleh menyatakan bagaimana kekuatan hati dan kebulatan fikir saudara-saudara kita yang berduduk di Padang Panjang dan sekelilingnya minta supaya dengan seboleh-bolehnya Anku akan kembali mengajar di sanan, sebagaimana sedia kala. Hingga dengan kebulatan muafakat merekat tiadalah suatu juga yang terpandang berat dan sukar malah sama sekali dipandangnya mudah dan ringan saja. Hingga Anku sendiri pun hampir-hampir tidak bisa menjawab perkataan mereka yang bakal melupakan diri padanya.
Maka dengan hal yang tersebut barulah saya dapat mendengar bahawa saya penduduk Sungai Batang [h]umumnya lebih patut menghadapkan permintaan kepada Anku, supaya Anku akan tetap iyo lai di Sungai Batang ini, buat mengubati segala penyakit yang ada pada badan dan roh saya. Hingga sampai pula hendaknya merasakan lidah dan manisnya kebajikan sebagai yang sudah dirasakan oleh saudara saya bahagian perempuan di Padang Panjang itu.
Oleh sebab itu, maka atas nama saya segala murid di Jorong Labuah menyatakan tidak muafakat kalau Anku akan kembali di Padang Panjang dan minta dengan sangat supaya Anku akan mengajar di Sungai Batang.
Kedua surat itu penting, terutama jika dihubungkan sosok Haji Rasul yang terkenal sangat membatasi aktivitas perempuan yang lebih dalam aktivitas sosial, budaya, dan politik (Murni Djamal, 2002).
Oleh sebab begitu keras pendiriannya terhadap aturan berkenaan dengan pembatasan “kebebasan” perempuan, Haji Rasul sering pula disebut sebagai sang fanatik (Hadler, 2010). Ia tidak segan-segan mengeluarkan fatwa haram untuk “menyelamatkan” akhlak kaum wanita, untuk menghindari dosa kaum Adam juga tentunya.
Baca juga: Kutub Khanah, Perpustakaan dan Tempat Peristirahatan Ayah Buya Hamka
Representasi kefanatikan Haji Rasul berkenaan dengan “pembatasan” perempuan juga tergambar di dalam beberapa karyanya. Akan tetapi, sikap kerasnya terhadap perempuan ternyata tidak mengakibatkan Haji Rasul dibenci oleh kaum perempuan.
Ternyata, di balik sikap kerasnya terhadap wanita, Haji Rasul tetap menjadi sosok ulama bersahaja di mata kaum Hawa. Ia malah menjadi “rebutan” antara kaum ibu di Sungai Batang dengan Padang Panjang.
Tulisan oleh Pramono di Inioke.com