Padang adalah kota pesisir pantai dengan udara yang hangat lagi lembab. Di sekelilingnya terdapat gugusan bukit, sebagian kecil dari anak-anak pegunungan Bukit Barisan. Di tengahnya lagi, terdapat sebuah bukit, berdiri angkuh seolah seperti benteng alami. Kendati punya hawa yang secara umum hangat, kota ini tidak pernah mengenal musim kemarau, begitu pula dengan Sumatera Barat secara umum.
Sejak dulunya, Padang sudah menjadi pusat pertemuan berbagai kelompok etnis. Orang Nias, Minangkabau, Tionghoa, Eropa, India, dan berbagai bangsa punya perannya masing-masing dalam pembentukan kota tua ini, yang konon usianya telah mencapai 353 tahun. Kendati Padang adalah ibu kota Sumatera Barat yang mayoritasnya Muslim, Anda masih bisa menemukan tempat ibadah berbagai agama yang umumnya terletak di sekitar Muara Batang Arau, saksi bisu betapa Padang adalah salah satu titik hangat perdagangan di pesisir barat Nusantara.
Bahkan jika kita mengambil contoh dari umat Muslim yang notabene adalah mayoritas pun, sangkut-menyangkut hubungan antar berbagai kebudayaan pun masih bisa dilihat jelas hingga sekarang. Jika Anda berjalan-jalan hendak menikmati estetika lawas Kota Padang, cobalah melipir ke arah timur dari kawasan kota tua. Di antara persimpangan jalan yang membentuk perempatan dan tak jauh dari permukiman padat penduduk, berdiri Masjid Raya Ganting atau disebut Gantiang dalam pelafalan Bahasa Minang.
Masjid Raya Ganting yang berdiri anggun hingga saat ini telah melewati umur 218 tahun. Perlu diketahui, kawasan sungai Batang Arau dan sekitarnya – termasuk Ganting - adalah sebagian kawasan yang mula-mula dihuni para pemukim di Kota Padang.
Hal itu antara lain bisa ditelusuri berdasarkan riwayat seorang musafir Arab sekitar abad 14 silam yang dimuat dalam manuskrip seorang khatib bernama Imam Maulana Abdul Manaf Amin (lahir 1922). Dalam manuskrip berjudul Sejarah Ringkas Syeikh Muhammad Nashir (Syeikh Surau Baru) Koto Panjang, Koto Tangah Tabiang Padang, salah satu wilayah yang banyak dihuni adalah kawasan Aur Duri yang tak jauh dari kawasan Ganting.
Namun sebelum berdiri di kawasan Ganting, cikal bakal masjid ini sudah ada sejak tahun 1790, tepatnya di kaki Gunung Padang. Berdasarkan dokumen Departemen Agama, surau dengan desain sederhana itu terbuat dari rangka kayu dan atap dari pohon sagu. Karena Kolonial Belanda kala itu hendak membuka jalur menuju Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) yang saat itu juga masih dalam proses pembangunan, surau tersebut kemudian berpindah ke tepian Sungai Batang Arau, sebelum akhirnya memiliki lokasi tetap di kawasan Ganting yang kita kenal sekarang. (A. B. Zein dalam Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, 1999). Merujuk data Departemen Agama, tahun pendirian masjid ini yakni 1805.
Dari segi bentuk arsitektur, tampak pengaruh. Menurut Jurnal Riset Tindakan Indonesia (JRTI) berjudul Menganalisis Bentuk Arsitektur Masjid Raya Ganting Padang di Sumatra Barat, aliran arsitekturnya vernakular,yakni menyesuaikan dengan kondisi lokal dengan pertemuan corak Minangkabau dan kebudayaan berbagai bangsa yang singgah di Kota Padang. Basis desain neoklasik bangunan ini menunjukkan pengaruh desain Belanda. Sementara model atapnya yang menyerupai punden berundak-undak empat tingkat beserta ukirannya menyiratkan pengaruh Cina.
Sejarah pembangunannya pun tak terlepas dari riwayat Kota Padang yang kosmopolitan, merangkum berbagai warna kebudayaan. Dalam pembangunan Masjid Raya Ganting, orang-orang Minangkabau memiliki peran utama. Tanah tempat pembangunannya pada 1805 silam merupakan tanah wakaf tujuh suku (klan/marga dalam kebudayaan Minangkabau). Penyerahannya melalui Gubernur Jenderal Ragen Bakh, pimpinan Hindia Belanda di Sumatera Barat saat itu.
Pemrakarsa pembangunan masjid ini adalah tiga tokoh pemuka masyarakat setempat, yakni saudagar kaya bernama Angku Gapuak, seorang pimpinan nagari/desa bernama Angku Syekh Haji Uma, serta seorang ulama bernama Angku Syekh Kapalo Koto. Dana untuk pembangunannya terkumpul dari dukungan para pengusaha dan ulama Minangkabau (A.B. Zein, 1999). Menurut catatan Kementerian Agama, luas masjid ini mencapai 30 x 30 meter.
Hasil pembangunan Masjid Raya Ganting sejak awal sudah menunjukkan kekokohannya. Buktinya antara lain ketika terjadi gempa beserta tsunami di Kota Padang pada 1833, masjid ini tidak mengalami kerusakan berat serta selamat dari sapuan gelombang tsunami. Namun kondisi memaksa lantai batu masjid diganti dengan lantai campuran kapur kulit kerang dan batu apung.
Pejabat kolonial Belanda juga masih memberikan perhatian terhadap rumah ibadah umat Muslim ini, salah satunya anggota Corpas Genie Belanda berpangkat kapten yang menjabat sebagai Komandan Genie wilayah Gouvernement Sumatra’s Westkust. Tegel (bahan pelapis ubin dan dinding) dari Belanda kemudian dipasang pada tahun 1910.
Pada tahun 1910 itu pula Belanda mendirikan pabrik semen di Indarung. Pembukaan kawasan industri itu memunculkan kebutuhan baru, yakni pembukaan jalur pengangkutan semen menuju pelabuhan. Akibatnya, hampir sepertiga luas tanah wakaf untuk Masjid Raya Ganting dipakai untuk jalan. Sebagai kompensasi, Belanda membantu pembangunan bagian depan atau fasad masjid.
Lantai masjid kemudian juga dipasangkan ubin. Material itu dipesan melalui perusahaan Jacobson Van den Berg. Menurut situs Dinas Kebudayaan Jakarta, NV Jacobson van den Berg & Co adalah perusahaan Belanda yang berbasis di Den Haag yang bergerak di bidang perdagangan, jasa asuransi, dan industri. Cabangnya tersebar di berbagai kota di berbagai belahan dunia, termasuk Hindia Belanda saat itu. Kota-kota itu antara lain meliputi Padang, Palembang, Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, dan belasan kota lainnya. Kemudian renovasi penting pada Masjid Raya Ganting berlanjut dengan pembangunan menara di bagian kiri dan kanan Masjid yang selesai pada tahun 1967.
Sejak awal pendiriannya Masjid Raya Ganting telah menjadi basis kegiatan yang menyangkut agama maupun kehidupan sosial masyarakat. Mulai dari tempat mengumpulkan para jamaah haji, syiar pemuka agama, diskusi masyarakat setempat, hingga menjadi tuan rumah aktivitas organisasi pemuda. Pada 1932, Organisasi Hizbul Wathan yang merupakan sayap kepanduan Muhammadiyah mengadakan jambore pertamanya di masjid ini (Zein, 1999).
Tak hanya itu, organisasi Hizbul Wathan saat itu juga menjadikan Masjid Raya Ganting sebagai salah satu basis kegiatan. Berdasarkan riwayat Soekarno yang tercatat dalam buku Bung Karno dan Islam: Kumpulan Pidato Tentang Islam, 1953–1966 (1990), sang proklamator kemerdekaan itu pernah dijemput dan dijaga oleh anggota Hizbul Wathan ketika ia tengah dievakuasi Kolonial Belanda dari pengaruh militer Jepang yang sudah masuk ke Kepulauan Indonesia. Di masjid ini Soekarno sempat menginap dan memberikan pidato.
Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia sekitar tahun 1945 dan seterusnya, Masjid Raya Ganting juga menjadi saksi bisu solidaritas lintas bangsa dalam melawan penjajahan. Saat tentara sekutu datang ke Indonesia sekitar tahun 1945, banyak anggota Muslim India dalam kesatuan tentara Inggris kemudian memilih untuk berpihak kepada perjuangan rakyat di Padang. Mereka turut berkumpul dengan para pejuang lokal dan menyusun strategi di dalam lingkungan Masjid Raya Ganting (A.B. Zein dalam Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, 1999).
Setelah Republik Indonesia sah berdaulat sebagai satu negara yang diakui internasional pun, Masjid Raya Ganting masih menjadi lokasi helatan penghargaan terhadap para negarawan. Berbagai tokoh negara telah berkunjung ke Masjid Raya Ganting, mulai dari Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sultan Hamengkubuwono IX, hingga Jenderal Abdul Haris Nasution. Sementara delegasi berbagai negara telah mengunjungi masjid klasik ini, antara lain yang tercatat adalah Malaysia, Arab Saudi, dan Mesir.
Namun Masjid Raya Ganting juga turut menjadi korban musibah yang melanda warga Sumatera Barat khususnya pada gempa 30 September 2009 silam. Berdasarkan kabar dari kantor berita Antara, Masjid Raya Ganting terdampak gempa hingga membutuhkan dana Rp1,3 miliar untuk renovasinya, mengingat kondisi bangunan yang berkurang kekokohannya. Demi menjaga keselamatan sembari tetap bersolidaritas dan beribadah, umat Muslim untuk sementara waktu mengadakan ibadah di halaman masjid sebelum renovasi bangunan rampung pada 2010.
Kendati telah terdampak bencana alam, Masjid Raya Ganting mendapat pengakuan secara internasional sebagai salah satu dari daftar 100 masjid terindah di Indonesia yang dirangkum oleh Andalan Media pada 2011 untuk kemudian dirilis sebagai buku. Menurut Ketua I Pengurus Masjid Raya Ganting yang saat itu menjabat, Nursuhud Husin, capaian tersebut tidak terlepas dari riwayat panjang masjid ini. “Terpilihnya Masjid Raya Ganting sebagai salah satu masjid terindah di Indonesia ditetapkan berdasarkan pertimbangan bentuk arsitektur serta nilai sejarah yang dimiliki,” ungkapnya seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Penghargaan terhadap Masjid Raya Ganting tersebut seolah menyiratkan nilai sosial-budaya yang terwujud oleh solidaritas manusia serta menghasilkan sebuah karya, dalam hal ini arsitektur, tidak akan lekang oleh gempa bumi maupun ancaman fisik apa pun. Kondisi fisik maupun iklim politik Kota Padang boleh jadi berubah dari tahun ke tahun, tetapi sejarah yang telah pernah tergores tidak akan pernah berubah. Termasuk fakta bahwa Kota Padang terbentuk oleh silang pengaruh berbagai budaya.