Bantul – Sebelum mempromosikan hasil kerajinan tangan daerah semudah sekarang lewat internet, Nur Ahmadi (47 tahun), kini dikenal sebagai penggerak Desa Wisata Wukirsari, melakukannya melalui pameran. Selama dua tahun, ia aktif berkeliling ikut pameran, hingga pernah membuka stand di pusat perbelanjaan di Jakarta.
Di setiap kesempatan, ia membawa puluhan lembar kain batik tulis berbagai motif dari desanya, Wukirsari, sentra batik tulis yang sejarahnya terentang sejak abad ke-17 sebagai warisan Keraton Mataram Islam.
Nur Ahmadi berkisah, 16 tahun lalu, pernah membuka stand di Thamrin City, Jakarta. Kala itu, tahun 2009, pusat perbelanjaan tersebut baru memulai mengadakan pameran khusus batik, yang nantinya berkembang menjadi Pusat Batik Nusantara.
Menumpang bus selama 12 jam perjalanan, Nur Ahmadi datang membawa dua koper besar penuh muatan. Isinya, puluhan kain batik tulis berbagai motif, baik yang sudah diberi warna maupun mentahan.
Tak hanya Nur Ahmadi yang datang memamerkan batik. Ada ratusan pengrajin batik dari sentra batik lainnya di sana, seperti Pekalongan, Solo, Cirebon, Madura, dan Yogyakarta sendiri. Selain untuk dipamerkan, para pengrajin berharap batik mereka laku terjual.
Namun, tidak seperti Nur Ahmadi, para pengrajin lain juga membawa batik cetak, yang tentu saja dijual dengan harga jauh lebih murah. Pembeli awam sulit mengetahui perbedaan antara keduanya sebab, sekilas mirip. Jika mereka hanya membeli karena harga, maka batik tulis seperti Wukirsari bukan pilihan.
“Mereka seratus ribu sudah dapat tiga batik, kita baru kain putih,” kenangnya tertawa saat kami berbincang di sebuah pendopo Wukirsari.

Pameran di Thamrin City, 16 tahun lalu, merupakan pameran kesekian yang diikuti Nur Ahmadi. Sudah puluhan kali dia ikut pameran semacam itu. Sayang, hasilnya tidak membahagiakan. Di antara impitan batik cetak, batik tulis seperti yang dikerjakan warga desanya tidak “laku” karena harga.
“Saya dulu bolak-balik ikut pameran sampai Jakarta. Menjual batik tulis, karena pengrajin yang mengerjakannya kan ibu-ibu, tidak bisa pergi karena ingat anak mertua (maksudnya suami). Tapi saingannya printing semua,” sambung Nur Ahmadi.
Tidak pulang dengan tangan hampa, Nur Ahmadi membawa titik balik. Ia menyadari batik tulis seperti Wukirsari boleh saja kalah dalam persaingan harga, tapi tidak dengan keunggulannya, seperti motif keraton dan penggunaan pewarna alami. Bagaimana menjadikan ini menjadi nilai yang dicari?
Dari situ, ia terpantik. Alih-alih harus “bersaing” dengan lawan yang tidak setara, mengapa tidak mempromosikan batik tulis Wukirsari dengan menguatkan pamor di tempatnya sendiri? Ide demikian membuat Nur Ahmadi mulai serius menggarap Wukirsari menjadi desa wisata.
Sejak tahun 1980-an, Wukirsari sudah menjadi sentra batik tulis, tapi belum ada upaya terencana untuk menjadikannya destinasi wisata yang terkelola. Para pengrajin bekerja masing-masing, menjadi buruh batik dengan upah tidak menentu dan harus menyetorkan hasil batik ke juragan di kota.
Nur Ahmadi, kala itu mengambil inisiatif. Setidaknya satu dekade umurnya sudah dia dedikasikan untuk mempromosikan batik tulis Wukirsari, hingga kini dikenal sebagai desa batik dan menjadi destinasi wisata yang mendunia.
Wukirsari, Destinasi Wisata yang Mendunia

Soal desa wisata yang menjadi destinasi dunia, bukanlah klaim semata. Hal itu terbukti dengan kunjungan ribuan wisatawan mancanegara ke Wukirsari sejak desa itu dinobatkan sebagai salah satu dari 55 desa wisata terbaik dunia oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO) pada tahun 2024.
Para turis datang dari berbagai negara hingga sejauh benua Amerika. Itu saya saksikan langsung pada 20 Oktober 2025 saat menghadiri workshop jurnalisme yang diadakan Indonesia Institute of Journalism (IIJ) bekerja sama dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Rhetor dengan dukungan Astra.
Di sebuah pendopo berukuran 5 x 5 meter, dua turis Kanada tampak asyik duduk membatik. Masing-masing memegang canting di tangan kanan, sementara sebelah tangan menyangga kain mori seukuran sapu tangan di alas papan. Seorang perempuan paruh baya membimbing mereka cara menggunakan canting dan menumbuhkannya ke pola kain.
Suasana keakraban meliputi mereka. Kedua turis asal Kanada itu merupakan pasangan suami istri. Bahasa tak menjadi kendala karena mereka didampingi oleh tour guide yang bertindak sebagai penerjemah.
“Saya mau memakai sesuatu yang saya kerjakan sendiri,” ujar Gael didampingi suaminya, George, begitu saya tanya kesan mereka membatik. Pasutri itu baru pertama kali ke Indonesia.
Gael berkata, alasan dirinya dan sang suami berwisata ke Indonesia, karena penasaran dengan batik. Setelah mencari tahu di internet, ia memutuskan memilih Wukirsari karena destinasi ini menyediakan pengalaman membatik.

Usai selesai mencanting, Gael dan George diajak melihat galeri oleh pengrajin lainnya, Ninik (54 tahun). Di dalamnya, dipajang ratusan kain batik tulis dengan berbagai motif. Ada parang rusak barong, truntum, parang klithik, lereng sobrah, sidomukti, sidoasih, lerengan, kawung, semenan, dan udan liris.
“Apakah ini fabrikasi?” tanya Gael saat matanya terpaku pada kain batik tulis bermotif udan liris yang rumit.
“Tidak ada cetak di galeri ini. Semuanya tulis,” sahut Ninik, yang bertugas sebagai pengelola galeri. “Kain ini dikerjakan selama 3,5 bulan,” sambungnya lagi.
Harga kain batik tulis di galeri berkisar antara 450 ribu hingga 2,5 juta. Satu kain baik pengerjaannya rata-rata 1-2 bulan. Untuk motif sulit seperti udan liris membutuhkan pengerjaan yang lebih lama.
Sementara Gael melihat-melihat, seperti pemandangan yang lazim di pusat perbelanjaan, sang suami setia menunggu. Butuh waktu setengah jam sampai akhirnya Gael memutuskan memilih batik mana yang dibeli.
“Jangan lupa kain batik kita tadi yang kita canting,” seru George kepada Gael seusai dari galeri. Selain membeli kain batik yang sudah jadi, mereka pulang membawa cantingan hasil karya mereka sendiri.
Kisah Nur Ahmadi dan Wukirsari

Perjalanan Nur Ahmadi menggerakkan Wukirsari menjadi desa wisata tak terlepas dari latar belakangnya sendiri, yang lahir dan tumbuh di tengah para pembatik. Usai menamatkan SMA pada tahun 1997, ia tidak melanjutkan kuliah. Menekuni batik menjadi pilihannya. Meski demikian, ia mengaku mulai fokus menekuni dunia batik setelah gempa bumi Bantul tahun 2006 silam.
Saat itu, ia mengikuti program pembinaan dari Balai Besar Kerajinan dan Batik. Di situ, ia mempelajari produksi batik tulis menggunakan pewarna alami, seperti dari daun, akar, kulit kayu, kulit buah, dan buah-buahan.
“Saya salah satu anak muda yang ikut. Hasil pelatihan selama dua tahun, nanti muncul 12 kelompok batik,” tutur Nur Ahmadi.
Berkat pelatihan tersebut, dusun-dusun di Wukirsari, termasuk Giriloyo, dapat memproduksi batik dengan pewarna alam. Berbeda dengan warna sintetis, pewarna alami tidak mencemari lingkungan karena limbahnya bisa terurai oleh tanah.
Selain Balai Besar Kerajinan dan Batik, dukungan untuk pengrajin batik diberikan oleh beberapa NGO dalam bentuk pelatihan teknis dan manajerial. Di antara NGO tersebut yakni Jogja Heritage Society (JHS), Institute for Research and Empowerment (IRE), Yayasan Batik Sekar Jagat, dan Dompet Dhuafa.
“Sebelum gempa, kebanyakan pembatik di Wukirsari hanya sebagai buruh membatik saja, yang digaji oleh para juragan dari Kota Yogyakarta. Setelah muncul pelatihan-pelatihan, kami mulai mandiri,” Nur Ahmadi menambahkan.

Tahun 2007, Wukirsari mendapat bantuan dana swakelola 300 juta dari lembaga kemitraan Indonesia-Australia. Oleh Nur Ahmadi dan rekan-rekan, bantuan itu mereka memanfaatkan untuk membangun sembilan gazebo dan pendopo utama tempat workshop.
“Kita beli (material-material dari) rumah roboh. Kalau enggak, enggak cukup uangnya,” ujar dia.
Menyaksikan geliat kebangkitan para pembatik, ia bersama teman-temannya berinisiatif untuk menjadikan Wukirsari sebagai sebagai sentra batik tulis, dimulai dari Dusun Giriloyo .
“Bersama teman-teman pengrajin, kita diskusi. Akhirnya kita sepakat menjadikan Giriloyo sebagai sentra batik tulis. Puncaknya, kita buat pemecahan rekor MURI, yaitu membuat selendang batik terpanjang di dunia pada 27 Mei 2007,” terangnya.
Sejak itulah, hari-hari Nur Ahmadi didedikasikan untuk mempromosikan batik tulis Giriloyo. Salah satu caranya datang ke pameran-pameran.
“Suka-duka pameran itu banyak. Untung tidak, nombok iya. Pembeli memprotes karena mengaggap (batik tulis) terlalu mahal (dibandingkan batik cetak). Kita bisa apa?” imbuhnya.
Akhir tahun 2009 menjadi titik baru bagi Wukirsari. Lewat dukungan Program PNPM Mandiri Pariwisata, Nur Ahmadi bersama pengrajin lainnya fokus menjadikan Wukirsari sebagai desa wisata dengan kegiatan unggulan: belajar batik.
“Awalnya kami bikin test tour jelajah desa. Paket belajar batik, makan makanan tradisional, sampai mengenal obat-obatan herbal. Ternyata dari kegiatan itu, banyak yang antusias dengan belajar batik,” sambungnya.
Nur Ahmadi mengatakan, mereka semula tidak yakin kegiatan belajar batik akan diminati, sebab bagi mereka batik adalah hal biasa.
“Tetapi, ternyata banyak yang antusias. Wisatawan melihat batik itu luar biasa. Meskipun mereka mencanting netes dan mbleber, mereka senang.”
Hasil test tour itu membuat Nur Ahmadi percaya diri. Ia yakin wisata edukasi yang menawarkan pengalaman membatik bisa menjadi daya tarik wisata. Mulailah dirinya menawarkan paket wisata ke sekolah. Ia datang ke sekolah-sekolah “menjemput bola.
“Mereka (sekolah-sekolah) tertarik. Akhirnya berkembanglah. Wisata itu kan perlu minum, snack, homestay. Maka, kami siapkan semua. Kami ajak warga,” tambahnya.
Menurut Nur Ahmadi, di sinilah letak keunikan desa wisata: bukan menjual tiket, tapi menjual paket. Semua warga bisa merasakan manfaatnya langsung.
Sejak menjadi desa wisata, Wukirsari makin ramai dikunjungi wisatawan. Sampai sebelum Covid-19, angka kunjungan pernah mencapai 29.000 orang per tahun. Sebagian besar datang untuk belajar batik. Dalam setahun, omset dari paket wisata belajar batik bisa menembus dua miliar.
Pandemi Covid-19 membuat aktivitas pariwisata sempat terhenti. Kunjungan baru kembali normal pada tahun 2022 dengan total 24.500 orang. Tahun 2023, kunjungan meningkat menjadi 40.000 orang dan puncaknya pada tahun 2024 mencapai 45.000 orang.
Arti Desa Wisata Bagi Warga

Ramainya wisatawan yang datang ke Desa Wisata Wukirsari memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat. Di galeri batik, penjualan rata-rata mencapai 70 hingga 100 potong kain per bulan.
Bagi para pengrajin, tak hanya batik-batik mereka yang laku terjual, mereka bisa mendapat tambahan penghasilan dari aktivitas mendampingi tamu belajar batik. Satu kali mendampingi, pengrajin mendapat Rp35 ribu.
Saat ini, tercatat terdapat 643 perajin batik yang tersebar di Dusun Giriloyo, Cengkehan dan Karang Kulon. Rata-rata pengrajin kini berumur di atas 50 tahun. Hampir seluruhnya perempuan.
Selain pengrajin, warga lainnya merasakan manfaat lewat kegiatan penunjang wisata. Mulai dari usaha makanan tradisional, penyediaan homestay, hingga penjualan bahan-bahan membatik seperti kain, lilin, dan kompor.
Seluruh kegiatan ekonomi warga tersebut telah menjadi unit usaha di bawah payung Koperasi Jasa Kampung Batik Tulis Giriloyo yang dipimpin Isnaini Muhtarom (Ketua 1) dan Nur Ahmadi (Ketua 2).
Salah seorang pengrajin yang tergabung dalam koperasi, Ninik (bernama asli Siti Baroroh) menerangkan bagaimana koperasi memastikan setiap pengrajin memperoleh manfaat dari geliat wisata di Wukirsari.
Setiap kali ada rombongan wisatawan datang untuk belajar batik, para pengrajin dihadirkan sebagai pemandu untuk satu kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang.
“Misalnya ada seratus tamu, tiap satu kompor digunakan lima siswa. Jadi dibutuhkan sekitar dua puluh pendamping,” jelasnya.
Agar semua pengrajin mendapat kesempatan, imbuh Ninik, tugas pendampingan dilakukan secara bergiliran.
“Alhamdulillah kita dan warga kompak. Kita saling menjaga komunikasi. Menghargai tugas sama lain. Kalau kita cuma mengandalkan pengurus, tentu tidak mungkin,” katanya.
Ninik menjelaskan, koperasi didirikan pada tahun 2022 ketika ada peluang dari pemerintah pusat untuk mendapatkan bantuan hibah bangunan. Namun, bantuan hanya bisa dicairkan melalui badan hukum berbentuk koperasi.
“Kita sepakat (mendirikan) badan usaha koperasi dengan lima unit usaha yakni desa wisata, galeri, katering, homestay, dan jual beli bahan baku batik,” lanjut Ninik.

Wartinah (65 tahun), pengrajin yang sudah berkarya sejak usia sekolah tahun 1980-an, menyebut dengan ramainya wisatawan ke Wukirsari, ia bisa menambah omsetnya.
“Istilahnya kan dulu kita menunggu pembeli datang ke rumah. Sejak jadi desa wisata, pembeli bisa ambil (yang sudah jadi) sekaligus pesan untuk diambil nanti. Senang selesai membatik ada yang beli, ada hasil toh,” katanya.
Wartinah telah menjadikan batik sebagai tulang punggung perekonomian, terutama sejak sang suami meninggal 20 tahun silam.
Selain itu, ia membatik karena ingin melestarikan warisan budaya, walaupun usianya kini sudah sepuh dan harus menggunakan kacamata..
“Kita uri-uri kata orang Jawa. Ini saja seandainya besok kita gak ada, bagaimana ya anak sekarang. Mereka bisa mencanting, tapi tidak minat,” tandasnya.
Koperasi Jasa Kampung Batik Tulis Giriloyo mengelola galeri tempat memamerkan dan menjual berbagai produk batik tulis hasil pengrajin. Galeri tersebut dibangun tahun 2015 bantuan dari pemerintah DIY.
Sistem pengelolaan galeri, kata Ninik selaku petugas galeri, dibuat transparan. Pengrajin yang menitipkan produknya akan menerima 80 persen dari hasil penjualan, sedangkan 20 persennya untuk biaya operasional dan promosi galeri.
“Dulu sebelum ada galeri, pengrajin membawa produk masing-masing setiap ada tamu. Setelah selesai, dibawa pulang. Lama-lama kan capek. Akhirnya, kita dapat bantuan pemerintah daerah berupa galeri ini,” terang Ninik.
Setelah ada koperasi, pengelolaan Desa Wisata Wukirsari menjadi lebih tertata. Pencatatan keuangan lebih rapi dan penjualan lebih terukur.
Selain itu, hubungan dengan lembaga keuangan terbangun. Mereka menawarkan pinjaman, mula-mula dengan agunan hingga tanpa agunan.
“Saya merasakan sendiri manfaatnya. Ambil pinjaman 50 juta karena saat Covid-19 tidak ada pemasukan. Alhamdulillah begitu selesai Covid-19, saya bisa melunasinya tiga tahun. Sekarang sudah bisa nabung lagi,” kisah Ninik.
Bersama Mencanting Batik dan Menjaga Nyala "Malam"

Cerita sukses Wukirsari tentu saja cerminan dari kekompakan warga dan kesetian mereka menjaga tradisi. Mereka mencanting batik dan menjaga “malam” tetap menyala.
Seturut itu, pengelola desa wisata Wukirsari gigih mengikutsertakan Wukirsari dalam berbagai ajang desa wisata baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional
“Tujuannya supaya kita mengetahui aspek mana yang perlu kita tingkatkan. Memang ada yang ogah ikut lomba karena nombok. Uang pembinaan tidak sepadan, tenaga habis. Tetapi, kami semangat. Kami ingin tahu kekurangan kami,” jelas Nur Ahmadi.
Setelah memperoleh Juara I Desa Wisata di tingkat Kabupaten Bantul pada tahun 2014, Wukirsari naik kelas menjadi Juara I Desa Wisata DIY pada tahun 2020. Selanjutnya, Wukirsari menyabet Juara 1 dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2023 kategori Desa Wisata Maju.
Dalam prosesnya, pengelola desa wisata Wukirsari diperkuat oleh kalangan generasi muda. Salah satunya Ahmad Bachtiar (26). Ia mulai menangani proses digitalisasi hingga administrasi saat Wukirsari mengikuti seleksi ADWI.
"Dalam tiga bulan, ada 300 borang yang harus kita isi. Semuanya dalam bahasa Inggris," kenang Ahmad Bachtiar.
Keterlibatan Ahmad Bachtiar berlanjut ketika Wukirsari kembali mengikuti seleksi The Best Tourism Village 2024 dari UNWTO.
“Alhamdulillah, kita berhasil menjadi salah satu desa wisata terbaik versi UNWTO tahun 2024. Sejak itu, makin banyak turis mancanegara yang datang, terutama Singapura, karena ada penerbangan langsung,” terang Ahmad Bachtiar.
Nur Ahmadi mengatakan, salah satu fokus utama Wukirsari ke depan adalah meningkatkan kualitas pelayanan untuk wisatawan asing lewat penyiapan SDM yang terlatih. Sebab, banyak wisatawan asing yang tiba-tiba datang tanpa konfirmasi
“Mereka tahu melalui website. Sewa kendaraan, tiba-tiba datang ke sini. Tentu harus ada tim kita yang siap menyambut,” tuturnya.
Meski Wukirsari sudah menjadi desa wisata mandiri, dirinya berharap Wukirsari tidak dilepas begitu saja. Ia mengucapkan terima kasih atas dukungan berbagai pihak sampai saat sekarang, termasuk PT Astra International Tbk (Astra) lewat program Kampung Berseri Astra (KBA).

Dukungan Astra meliputi penguatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan pariwisata berupa pelatihan digital marketing. Selain itu, Astra memberi bantuan berupa satu unit limasan untuk meningkatkan kapasitas wisata edukasi batik.
Head of Brand Communication PT Astra International Tbk, Yudha Prasetya dalam sambutanya saat membuka acara workshop jurnalisme menyebut prestasi yang diraih Wukirsari sebagai contoh keberhasilan warga dalam menjaga tradisi, alam, dan budaya sembari membuka diri terhadap perubahan.
"Melalui pendekatan community-based tourism, Desa Wisata Wukirsari berhasil mengembangkan potensi lokal menjadi destinasi wisata berkelas dunia bagi ribuan pengunjung," ujar Yudha.











