Suluah.com – 2x11 Enam Lingkung, demikian nama kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat (Sumbar). Namanya terdengar unik karena terdiri dari kombinasi kata, angka, dan perkalian. Kok bisa dan bagaimana sejarahnya?
Sejarah penamaan kecamatan ini berkaitan dengan dua kelompok yang memiliki sistem kekuasaan adat yang berbeda.
Dua Kelompok "11 Suku"
Kelompok pertama terdiri dari lima nagari yakni Sicincin, Kayutanam, Kapalo Hilalang, Guguak dan Anduriang. Masing-masing nagari memiliki Kerapatan Adat Nagari (KAN) sendiri.
Di Sicincin, ada 5 suku dengan lima pucuak adat (kepala suku), di Kapalo Hilalang 6 suku dengan enam kepala suku. Jumlah sukunya 11, sebagai kelompok pertama.
Kelompok kedua terdiri dari nagari Kayutanam (3 suku), Anduriang (4 suku) dan Guguak (4 suku), jumlah sukunya 11. Oleh karena itu, kedua kelompok ini disebut 2x11.
Selanjutnya, terdapat enam nagari yakni Pakandangan, Parik Malintang, Toboh Ketek, Pakan Baru (aslinya Sungai Asam dan Lubuak Pandan), dan Koto Tinggi. Keenam nagari ini di bawah lingkuang (lingkungan) kekuasaan rajo adat, Tuanku Rajo Basa.
Jadi 2x11 adalah dua kelompok nagari yang masing-masing punya 11 suku, 6 lingkuang maksudnya enam nagari dalam satu lingkungan adat di bawah rajo adat.
Hasil Pemekaran Tahun 1999
Pada tahun 2000, berdasarkan Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999, kecamatan ini mekar menjadi tiga kecamatan baru, yaitu Kecamatan 2x11 Enam Lingkung, Kecamatan Enam Lingkung, dan Kecamatan 2x11 Kayutanam. Kecamatan 2x11 Enam Lingkung hasil pemekaran hanya meliputi Nagari Sicincin, Sungai Asam, dan Lubuak Pandan.
Batas Kecamatan 2x11 Enam Lingkung hasil pemekaran yakni sebelah utara dengan Kecamatan Patamuan, sebelah selatan dengan Kecamatan Enam Lingkung, sebelah barat dengan Kecamatan VII Koto, dan sebelah timur dengan Kecamatan 2x11 Kayutanam.
Pusat pemerintahan kecamatan terletak di Sicincin, 21 km di utara ibu kota Kabupaten Padang Pariaman dan 48 km dari Padang. Kecamatan ini meliputi sepanjang jalan yang menghubungkan Kota Padang dengan Bukittinggi.
Hingga tahun 1988, terdapat sekitar 43 desa berada pada pelintasan jalan. Sekitar 16 desa terdapat di daerah pinggiran.
Salah satu desa yang tidak bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua dan empat yaitu Desa Alang Lawas. Desa tersebut bersebelahan dengan Desa Sicincin.
Secara umum, kecamatan ini berada pada ketinggian 89 m dari permukaan laut. Curah hujan menurut catatan Dinas Meteorologi di Kepala Hilalang yaitu merata sepanjang tahun dengan jumlah curah hujan 238 mm.
Penduduk
Berdasarkan data kecamatan 2000, jumlah penduduk tahun 1995 diperkirakan mencapai 60.308 jiwa, hingga tahun 2000 menjadi 60.375 jiwa. Perkiraan kepadatan penduduk menurut desa/kelurahan sekitar 4 jiwa per km.
Penduduk terkonsentrasi justru tidak di pusat kecamatan, tetapi di Desa Gadua. Luasnya kira-kira 4,30 km persegi dengan jumlah penduduk 4.233 jiwa. Rinciannya, 2.142 jiwa laki-laki dan 2.091 perempuan.
Berdasarkan perbandingan luas desa dengan jumlah penduduk, Desa Tarok merupakan desa dengan jumlah penduduk yang relatif kecil yaitu sekitar 2.010 jiwa yang tersebar di daerah seluas 20,32 km persegi. Rinciannya, 988 adalah laki-laki dan 1.022 perempuan.
Sebagaimana masyarakat Minangkabau di daerah lainnya dan masyarakat Pariaman umumnya, banyak warga Kecamatan 2X11 Enam Lingkung yang pergi merantau, baik laki-laki ataupun perempuan.
Umumnya penduduk kecamatan ini berasal dari Suku Sikumbang, Tanjung, Panyalai dan Guci. Mereka beragama Islam.
Terdapat 35 masjid dan 331 musala di kecamatan ini. Selain itu, masing-masing suku mempunyai surau atas nama suku atau kaum.
Penduduk asli kecamatan ini pada mulanya berasal dari Pariangan Padang Panjang yang mulai dengan mendirikan koto, taratak, dusun, dan akhirnya menjadi beberapa buah nagari.
Penduduk umumnya tinggal di rumah-rumah permanen dan semi permanen, sementara rumah gadang tak banyak lagi tersisa di daerah tersebut.
Kecenderungan penduduk mendirikan rumah permanen dari semen dan tembok atau semi permanen tidak terlepas dari perubahan pola menetap dan pengasuhan anak. Kedua hal tersebut memengaruhi sistem hubungan sosial antaranggota keluarga dan kerabat.
Mata Pencarian
Mata pencarian penduduk umumnya adalah bertani. Hal itu didukung oleh sebagian besar daerahnya berupa daratan, dan didukung pula oleh sistem pengairan.
Meski demikian, beberapa tempat masih tergantung curah hujan. Oleh sebab itu, masyarakat mengenal sistem sawah tadah hujan. Biasanya petani berkesempatan berladang pada musim kemarau. Adapun daerah-daerah yang pengairannya cukup bisa mengelola sawah sampai tiga kali dalam setahun.
Sebagaimana di daerah Padang Pariaman lainnya, terdapat banyak kelapa di Kecamatan Enam Lingkung. Daerahnya masih terpengaruh oleh iklim dan cuaca pantai, sehingga tanaman kelapa cocok dikembangkan. Hampir setiap pekarangan dan lahan kering penduduk ditanami kelapa.
Selain bertani sawah, penduduknya juga melakukan usaha pembibitan ikan air tawar. Usaha itu dilakukan secara turun temurun pada tabek dan kolam. Dalam tahun 1990-1993 terdapat 10 hekate kolam, dan pada 1997 luasnya bertambah menjadi 409 Ha.
Sejalan dengan usaha penganekaragaman jenis ikan, pembinaan dilakukan melalui kelompok-kelompok pelatihan dan sejalan dengan pembangunan sarana dan prasarana jalan.
Selain jenis ikan lokal yang telah banyak dikenal masyarakat, pada 1996 ditambah dengan jenis nila give, nila albino, dan tahun 1997 ditambah lagi dengan jenis ikan bawal.
Selain sektor pertanian dan perikanan, masyarakat juga bergerak dalam sektor jasa dan perdagangan. Hanya sedikit yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Kalaupun ada, mereka umumnya memilih sebagai guru.
Minimnya penduduk yang bekerja sebagai PNS karena minat masyarakat terhadap dunia pendidikan relatif rendah. Di kecamatan ini, tersedia 58 SD negeri, 5 SLTP negeri dan 1 swasta, 2 SLTA negeri dan 2 swasta.
Salah satu SLTA swasta yakni SMU Plus Indonesische Nederlanch School (INS) Kayutanam yang dirintis oleh Mohammad Sjaefi pada 1926.
Daerah ini tergolong sebagai daerah rantau dari Minang asli. Oleh karena itu, terdapat dua sistem adatnya, ada nagari yang punya KAN sendiri, dan ada nagari-nagari yang tergabung di bawah raja adat.
Gelar Sidi, Bagindo, dan Sutan
Gelar adat atau sako pusako dalam masyarakat di sani tergolong unik karena tidak ada pada masyarakat Minang lainnya. Namun Prinsipnya tetap sama; ketek banamo, gadang bagala.
Seperti di Padang Pariaman, laki-laki di sini dipanggil dengan sebutan ajo yang sama dengan sebutan uda atau abang, dan perempuannya dipanggil uniang yang sama dengan uni atau kakak.
Akan tetapi, ada tiga gelar bangsawan bagi laki-laki, yaitu sidi, bagindo, dan sutan. Orang yang tidak berdarah bangsawan dan paling rendah panggilannya adalah uwo.
Pemberian gelar tersebut merupakan pengaruh budaya Aceh yang memiliki sejarah kekuasaan di Minangkabau.
Sidi berasal dari kata said atau saidin. Artinya, taat agama, keturunan yang baik, dan memiliki ilmu tinggi dalam agama. Gelar tersebut kemungkinan merupakan ingatan kolektif masyarakat terhadap seorang pengikut Rasulullah (Saidina).
Bagindo atau baginda adalah keturunan raja (penguasa) Minangkabau yang kawin dengan rakyat biasa. Keturunan tersebut cenderung kuat memegang adat istiadat.
Adapun sutan dan sultan adalah keturunan penguasa tapi dari kerajaan Islam, yaitu Sultan Iskandar Muda.
Ketiga gelar tersebut berpengaruh terhadap pola perkawinan masyarakat. Dalam perkawinan, ada istilah uang japuik (uang jemput) dan uang ilang (uang hilang).
Baca juga: Sejarah Masjid Raya Lubuk Pandan dan Keunikannya
Uang japuik adalah sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang diberikan oleh pihak perempuan kepada keluarga laki-laki saat pertunangan. Adakalanya uang itu kembali lagi kepada pihak perempuan setelah perhelatan selesai atau istilahnya agiah jalang.
Adapun uang ilang adalah sejumlah uang yang diberikan kepada keluarga laki-laki dan tidak untuk dikembalikan.