Awal Uzhara, Sutradara Film Laris yang Terasing dari Tanah Air

Awal Uzhara adalah seorang sutradara Indonesia yang menggarap film berjudul Hari Libur (1957)

Awal Uzhara. [Foto: Ist.]

Suluah.com – Awal Uzhara adalah seorang sutradara Indonesia. Film garapannya yang berjudul Hari Libur (1957) merupakan salah satu film terlaris dekade 1950-an.

Pada 1958, ia mengambil kuliah sinematografi di Gerasimov Institute of Cinematography (VGIK) di Moskow, Rusia. Namun, situasi politik Indonesia yang tidak kondusif pasca-peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada 1965 membuat ia kehilangan kewarganegaraannya.

Kehidupan Awal

Awal Uzhara lahir di Kayutanam, Pariaman, Sumatra Barat, pada 17 November 1931 dengan nama Awaluddin. Uzhara adalah akronim dari nama kedua orang tuanya yaitu Umar dan Zahara.

Ia memulai petualangan di dunia perfilman saat memutuskan untuk mencari pekerjaan ke Jakarta, meninggalkan studinya di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Mulanya, ia bekerja sebagai pelukis poster film biro reklame, sebelum menjadi pelukis dekor di Perusahaan Film Negara (PFN).

Haluan hidupnya berubah setelah berjumpa dengan Basuki Effendi, seorang sutradara film, yang menawarkannya pekerjaan sebagai property man untuk film Pulang (1952), adaptasi dari novel karya Toha Mochtar.

Pertemuan dengan Basuki Effendy membuka jalan bagi Awal Uzhara untuk berkarier di dunia film. Setelah Pulang, ia melanjutkan kerja samanya dengan Basuki Effendy lewat Sampai Berjumpa Pula (1955), Di film tersebut, ia didapuk sebagai asisten sutradara.

Sutradara Film Laris

Keterlibatannya bersama film Basuki Effendy memungkinkan Awal Uzhara untuk menghadiri Konferensi Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI). Setelah konferensi tersebut, ia mengambil tawaran menjadi asisten sutradara Bachtiar Siagian untuk film Tjorak Dunia (1955), Daerah Hilang (1956), dan Melati Sendja (1956).

Pada 1957, Awal Uzhara menyutradarai film pertamanya yang diberi judul Hari Libur. Film berdurasi 90 menit ini dibintangi oleh aktor kenamaan Bing Slamet dan mendulang sukses secara komersial. Hari Libur menjadi salah satu film laris pada dekade 1950-an, setelah Tiga Dara (1957) karya Usmar Ismail dan Djandjiku (1956) karya BK Raj.

Sayangnya, Awal hanya mewarnai sekilas perjalanan film Indonesia lantaran mendapat beasiswa ikatan dinas untuk belajar film di Rusia, yang merupakan hasil kerja sama pemerintah Rusia (dulu Uni Soviet) dengan pemerintah Indonesia.

Kuliah ke Moskow, Rusia

Saat mendaftar beasiswa, Awal Uzhara sempat terganjal masalah administrasi: tak punya ijazah. Beruntung, kawan-kawannya yang bersekolah di INS Kayutanam, yaitu Nasroen A.S. (pejabat di Kementerian Penerangan) dan Syamsuddin Syafei (sutradara di Teater Ratu Asia) membantunya untuk mendapatkan surat sebagai tamatan sekolah tersebut.

Di Rusia, Awal belajar di VGIK, Moskow selama delapan tahun, sejak 1958 hingga 1966. Ia menamatkan studinya selama enam tahun untuk tingkat sarjana dan dua tahun berikutnya untuk tingkat magister.

Semasa studinya, ia sempat menikahi wanita Rusia yang memberinya seorang anak bernama Allan Uzhara, tetapi pernikahan mereka berakhir perceraian.

Pada 1966, ia memutuskan pulang ke Indonesia. Setiba di Tanah Air, lataran situasi politik Indonesia saat itu tidak kondusif akibat G30S, ia harus menjalani interogasi dan wajib labor yang melelahkan.

Semula, Awal berniat mencari pekerjaan di Tanah Air, tetapi lamarannya di Direktorat Perfilman Kementerian Penerangan dan Pusat Produksi Film Negara selalu ditolak. Pada 1967, anaknya di Rusia jatuh sakit sehingga ia terpaksa kembali ke Rusia.

Kiprah Awal Uzhara di Rusia

Sesampainya di Rusia, Awal Uzhara sempat diperingatkan duta besar Indonesia di sana untuk tidak tinggal berlama-lama di Rusia atau status kewarganegaraannya dicabut.

Terjebak dalam pilihan sulit, takdir akhirnya menuntun Awal untuk tetap di Rusia. Keputusan itu ia ambil setelah mendapatkan telepon dari Gerasimov, dosennya semasa kuliah, yang menawarkannya pekerjaan sebagai asisten dosen di VGIK. Ia menerima konsekuensi hidup tanpa kewarganegaraan (stateless) di Rusia.

Tak ambil pusing, Awal segera larut dalam pekerjaan, meski harus terasing dari tanah kelahirannya. Hari-harinya ia habiskan untuk membantu Gerasimov mengajar para mahasiswa baru di jurusan penyutradaraan VGIK.

Di sela-sela kesibukannya, ia sempat membuat beberapa film yang diikutkan di festival film. Di antara film tersebut, termasuk On Tashkent Film Festival, dokumenter tentang Festival Film Tashkent; Our School in Moscow, kisah mengenai anak-anak keturunan Arab di Moskow; Exhibition, mengambil tema tentang kesenian rakyat Indonesia; dan Tapol, cerita para tahanan politik Indonesia yang diasingkan ke Pulau Buru. Film terakhir terpilih untuk diputar di Festival Film Moskow pada 1977.

Terpaksa Jadi Warga Negara Rusia

Pada 1999, Awal Uzhara terpaksa mengambil warga negara Rusia demi sang anak. Meski demikian, kecintaannya terhadap Indonesia tak pernah pudar. Nyaris setiap tahun ia ambil bagian dalam acara-acara promosi kebudayaan Indonesia di Moskow atau kota-kota lain di Rusia.

Di kampus, ia mengarahkan para mahasiswa Rusia yang belajar tentang Indonesia agar mampu memahami sekaligus melakoni kesenian Indonesia.

Selain mengajar di VGIK, ia sempat bekerja di Radio Moskow siaran Bahasa Indonesia (1995–2003). Sejak 2005 hingga 2012, ia mengajar di ISAA Universitas Negeri Moskwa.

Menikmati Hari Tua

Pada 2009, Awal Uzhara yang berstatus duda menikah dengan Susi Machdalena, dosen senior di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad). Pernikahan mereka berlangsung di Masjid Tatar, masjid tertua di Moskow.

Awal Uzhara benar-benar meninggalkan Rusia pada 2012. Sebelumnya, ia sempat bertandang sebentar ke Indonesia pada 2001. Di Tanah Air, ia menikmati hari tuanya sambil sesekali mengajar anak-anak muda berbakat mengenai sinematografi.

Baca juga: Rayni N. Massardi, Penulis Indonesia Kelahiran Brussels

Awal juga sempat mengajar bahasa dan sastra Rusia selama setahun di Unpad. Ia meninggal dunia dalam usia 86 tahun di Bandung pada 24 Agustus 2017.

Kisah hidup Awal Uzhara sebagai eksil 1965 diangkat ke dalam film dokumenter berjudul Awal: Nasib Manusia yang diputar dalam ajang Balinale International Film Festival di Jakarta pada 30 September 2017 dan Festival Film Dokumenter di Yogyakarta pada 12 Desember 2017. [den]

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Doris Flantika adalah pengusaha milenial sukses asal Padang yang menggeluti bisnis properti
Doris Flantika, Pengusaha Milenial Sukses Pendiri Dofla Land
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an
Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat