Suluah.com – Sirih dalam carano, begitulah persembahan masyarakat Minangkabau kepada tamu dalam kegiatan atau upacara adat mereka. Ia disuguhkan pada awal pertemuan sebagai bentuk penghormatan dari tuan rumah.
Tradisi ini masih dijalankan hingga sekarang. Ada filosofi tentang keramahtamahan orang Minang di dalamnya. Berikut pembahasannya.
Apa itu Carano?
Carano adalah wadah berupa dulang berkaki yang terbuat dari loyang atau logam kuningan. Bentuk dulangnya bundar dengan pundak landai, mulut lebar, dan bibir tipis. Tangkainya mengecil pada bagian tengah dan melebar pada bagian bawah berhiaskan garis lingkaran berbentuk geligir.
Carano wajib ada dalam kegiatan atau upacara adat di Minangkabau, seperti upacara pinang-meminang, pernikahan, dan malewakan gala.
Pasalnya, bagi masyarakat Minangkabau, tamu yang datang dalam suatu kegiatan atau upacara adat tidak hanya disambut dengan senyum sapa yang ramah. Ada suatu persembahan yang sudah menjadi budaya, yakni sirih.
Dalam hal ini, carano berfungsi sebagai wadah untuk membawa persembahan tersebut.
Filosofi Sirih dalam Carano
Isian carano sebenarnya tidak hanya berisi sirih semata. Ada kelengkapan lainnya yang disebut siriah langkok.
Sjafnir Abu Naim dalam Siriah Pinang Adat Minangkabau menguraikan, sirih langkok terdiri dari daun-daun sirih disusun melingkar dilengkapi dengan bahan untuk memakan sirih, di antaranya berupa buah pinang, gambir, dan kapur sirih (sadah).
Ia menjelaskan, ada empat unsur di dalam carano siriah langkok yaitu, daun sirih warnanya hijau rasanya pedas, buah pinang warnanya kuning rasanya kelat/sepat, gambir warnanya cokelat rasanya pahit, dan sadah warnanya putih rasanya asin.
Sirih melambangkan kesederhanaan, karena siapapun yang disambut dan menyambut, tetap saja menggunakan sirih, dan tidak ada dengan yang lainnya. Persembahan sirih dalam carano merepresentasikan penyatuan tamu dengan tuan rumah.
Isian carano ditutup dengan kain berhias yang disebut dulamak. Dulamak biasanya bercorak warna merah, kuning, dan hitam dengan motif pucuk rebung, yakni bambu muda yang baru keluar dari rumpunnya. Kain ini membuat kesan megah karena dihiasi kilapan benang emas dan cermin-cermin kecil.
Romantisme Orang Minang
Ketika mempersembahkan sirih dalam carano, biasanya disertai pantun. "Jika sirih sudah dimakan, yang manis melekat di ujung lidah, yang pahit lolos ke kerongkongan," begitu salah satu bunyi pantun tersebut.
Saat pinang-meminang, sirih dalam carano menyiratkan pesan kaum keluarga anak daro (pengantin wanita) kepada kaum keluarga marapulai (pengantin pria). Pesan itu intinya, semua yang terbaik dimiliki pihak keluarga anak daro, dipersembahkan kepada pihak keluarga marapulai.
Selain dalam pernikahan, carano disuguhkan saat memulai pembicaraan atau perundingan tamu. Hantaran ini menyiraktkan penghormatan dari tuan rumah kepada tamu yang datang.
Di dalam rasa sirih yang pahit dan manis, ada simbol. Daun sirih bila dikunyah akan menimbulkan dua rasa di lidah, pahit dan manis. Dengan menyuguhkan sirih pada awal pertemuan, maka diharapkan segala sesuatu yang janggal tidak akan menjadi gunjingan.
Perkembangan Saat Ini
Tradisi menghidangkan sirih dalam carano masih bertahan hingga saat ini dan menjadi lazim kita temui pada kegiatan seremonial yang ada di Sumatra Barat. Sirih dalam carano disuguhkan kepada tamu terhormat yang datang.
Baca juga: Gedung BPPI Padang, Cermin Kecerdikan Orang Minang
Namun, tradisi ini tak luput dari perubahan. Ada yang menjalankannya dengan cara praktis. Misalnya, menggunakan rokok sebagai pengganti sirih. Hal ini biasanya kita temukan pada masyarakat Minangkabau di perkotaan. Padahal, makna dari memberikan sirih tidak sama dengan memberikan rokok.
Terlepas dari hal tersebut, sirih dalam carano sudah menjelma menjadi simbol penyambutan tamu oleh masyarakat Minangkabau. Simbolisasi tersebut dapat kita temukan pada berbagai karya seni baik lukisan dan patung, seperti Tugu Selamat Datang di Kota Padang. [den]