Suluah.com – Ahmad Zainun Palindih adalah wartawan Indonesia. Ia memulai karier jurnalistiknya sebagai wartawan Domei, pindah ke Antara pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, dan terakhir menjadi direksi Pikiran Rakjat.
Ia juga seorang pejuang kemerdekaan yang terlibat dalam pergerakan nasional dan duduk dalam Bagian Penerangan Divisi Siliwangi.
Kehidupan Awal
Ahmad Zainun Palindih lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 23 September 1915 dari keluarga perantau Minangkabau. Ayahnya, Betek gelar Soetan Palindihadalah seorang demang di Kupang yang menikah dengan soerang gadis di Pulau Timor.
Sebelum bergelut di dunia jurnalistik, ia terjun dalam dunia pergerakan. Pada 1932, Palindih menjadi anggota organisasi pemuda Indonesia Moeda, dan pada 1935 ia sudah masuk dalam kepengurusan Indonesia Moeda untuk NTT.
Ahmad Zainun Palindih memiliki kedatangan dengan Bung Karno saat Bapak Proklamator tersebut dibuang ke Ende. Ia menimba sebanyak-banyaknya pengalaman dan pelajaran dari Bung Karno yang ia ikuti sampai akhir hayatnya.
Belajar Jurnalistik
Ahmad Zainun Palindih merantau ke Jawa untuk belajar pada Sekolah Jurnalistik yang dipimpin oleh P.R. Dahler, orang Indo-Belanda bekas pejabat pemerintah Hindia Belanda, tetapi lebih suka menjadi orang Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Untuk mempraktikkan ilmunya, ia bergabung menjadi reporter surat kabar Warta Harian pimpinan Djojopranoto.
Pada 1938, ia pindah ke Badung untuk bekerja pada kantor perusahaan gas di Jalan Braga. Sembari itu, ia menjadi koresponden Kantor Berita Antara yang baru saja berdiri dan tetap melanjutkan aktivismenya dengan mendirinkan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) cabang Bandung.
Sewaktu Nicorck Express asuhan Bratanata yang semula merupakan berita stensilan berkembang menjadi harian, Palindih menjadi redaktur pertama surat kabar tersebut sampai Jepang datang.
Perjuangan Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, Ahmad Zainun Palindih menjadi wartawan Domei. Ia merupakan salah seorang anggota pertama Domei di Bandung. Rekan-rekannya waktu itu adalah Sjarif Soleiman, Matulessy, Rivai Marlaut, Lalu Danilah, dan Mohammad Adam.
Pada pertengahan 1944, ia bersama Sjarif Soeleiman sebagai wartawan Domei ditangkap Kanpeitei. Mereka mengalami penyiksaan selama sekitar enam bulan, yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan fisik mereka.
Palindih dan Soelaiman ditangkap dengan tuduhan menyiarkan berita yang tidak bertanggung jawab kepada kelompok pejuang yang dituduh melawan kekusaan Jepang.
Perjuangan Masa Agresi MIliter Belanda
Pada awal 1945, Ahmad Zainun Palindih keluar dari tahanan dalam keadaan fisik yang menyedihkan. Ia kembali bekerja di Domei, tetapi dalam praktiknya, ia tak langsung bisa bertugas seperti sedia kala lantaran kekuatannya yang belum pulih.
Sewaktu Antara sudah dibangun kembali pada 3 September 1945 dan di mana-mana diusahakan berdiri cabang-cabangnya, ia ditunjuk untuk memimpin Antara Jawa Barat yang berpusat di Bandung; sedangkan waktu itu Soelaiman sudah dipindah ke Semarang sebagai orang Domei.
Di tengah kecamuk perang menghadapi Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia, Ahmad Zainun Palindih dan rekan-rekannya di Antara mendirikan kantor darurat di Garut dan Tasikmalaya. Tujuannya, apabila kantor Antara di Bandung diduduki Belanda, kantor-kantor lainnya masih dapat berfungsi.
Begitu Belanda melancarkan Agresi Militer pertama pada 1947, segenap karyawan Antara Bandung (beserta keluarga mereka) mengungsi ke luar kota. Di bawah pimpinan Ahmad Zainun Palindih, mereka menerusan perjuangan di sana.
Redaksi dan bagian radio, juru ketik, dengan membawa segala peralatan yang dapat diselamatkan, tiga hari tiga malam keluar masuk hutan, naik turun gunung. Padahal ketika itu istri Palindih sedang mengandung tua.
Akhrinya dalam perjalanan pengungsian itulah, istri Ahmad Zainun Palindih melahirkan anak, seorang laki-laki bernama Tjiptaputra, dan kelak sering menulis di surat kabar Pikiran Rakjat Bandung dengan nama Tito Palindih.
Ahmad Zainun Palindih, Berjuang Melalui Berita
Pengorbanan yang diberikan kaum wartawan dan keluarganya tidak kalah dari pengorbanan mereka yang menyandang senjata. Hal itu tampak dari perjuangan Ahmad Zainun Palindih dan rekan-rekan Antara Jawa Barat selama mereka berada dalam pengungsian.
Setelah memasang antene dan perlatan lainnya, Antara Jawa Barat dapat mengadakan kontak dengan kantor pusat Antara di Yogyakarta. Berita dapat diterima dan dikirimkan dan hasilnya disebarluaskan kepada segenap instansi sipil dan militer yang sednag mengadakan gerilya di daerah sekitarnya.
Tempat pengungsian Antara Bandung terletak di dusun terpencil. Penduduknya masih sangat sederhana sekali. Bahkan waktu itu mungkin karena tiada bahan baju yang dapat dibeli, penduduk setempat menggunakan kulit kayu sebagai penutup anggota badan.
Tiap hari, para reporter pergi turun ke lembah atau daerah sekitar mencari berita. Siang hari mereka kembali, menyusun berita, untuk diteruskan dengan perantaraan radio morse ke kantor pusat di Yogyakarta.
Dari Yogyakarta, berita itu disebarluaskan kembali, bukan saja untuk konsumsi surat kabar di Jawa, tetapi juga untuk daerah lainnya: bahkan sampai ke luar negeri.
Dengan begitu, negeri lain menjadi tahu bahwa Belanda sebenarnya hanya menguasai kota-kota besar dan jalan raya saja. Selebihnya, masih tetap utuh di tangan kekuasan Pemerintah Republik. Pejabat sipil dan militer Indonesia juga dapat mengikuti kegiatan/kejadian di dunia dengan melalui perantara Antara.
Kembali ke Bandung
Di bawah pimpinan Ahmad Zainun Palindih pula, Antara Jawa Barat secara menyusup masuk kembali ke Bandung. Yang masuk terlebih dahulu M. Royani. Ia berhasil mendapatkan sebuah rumah yang dapat menampung semua anggota pengungsi.
Kru Antara Jawa Barat segera menuju rumah penampungan dengan menyamar sebagai pengungsi biasa dan setapak demi setapak konsolidasi pekerjaan dapat dilakukan.
Setelah itu, mereka kembali menjalin kontak dengan kantor pusat Antara di Yogyakarta. Dengan begitu, kegiatan kaum republikein di daerah pendudukan kembali dapat disiarkan.
Setelah meninggalkan rumah penampungan, Antara Jawa Barat menumpang kerja di kantor redaksi Sipatahoenan dan harian Indonesia. Hal demikian mereka lakukan sampai pecahnya Agresi Militer Belanda II pada 1948.
Pasca-Perang Kemerdekaan
Pada waktu itu, Ahmad Zainun Palindih bersama M. Royani dan M. Saman pindah ke Jakrata. Sewaktu di sana terbit majalah Spectra, ia ikut membidaninya.
Pada 31 Mei 1950, harian Pikiran Rakjat terbit di Bandung dan A. Z. Palindih duduk dalam staf direksi dengan kedudukan di Jakarta.
Pada 1954, ia kembali ke Bandung dan menikmati hari tua hingga meninggal dunia pada pada 9 Oktober 1964. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. [den]