Suluah.com – Muhammad Djosan Sutan Bidjo Radjo adalah seorang birokrat Indonesia yang meniti karier pada masa Hindia Belanda. Ia pernah menjadi Bupati Agam (1945–1946) dan Gubernur Maluku (1955–1960).
Dalam politik, ia awalnya merupakan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun, ia memutuskan pindah ke Partai Nahdlatul Ulama (NU) jelang pemilihan Gubernur Maluku pada 1955.
Karier Muhammad Djosan
Muhammad Djosan lahir pada 8 November 1906. Ia mengawali kariernya sebagai pada masa Hindia Belanda sekitar tahun 1920-an. Ia memegang beberapa jabatan di pemerintah Pantai Barat Sumatra, seperti wakil jaksa di Pengadilan Negeri Fort de Kock dan asisten Demang Bayang di Pesisir Selatan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, posisinya sebagai birokrat di pemerintahan tetap dipertahankan. Pada 8 Oktober 1945, ia menjadi Penjabat Bupati Agam. Setahun berselang, pada 17 Mei 1946, Djosan menjadi inspektur kepala dewan gaji pegawai negeri. Di luar birokrasi, Djosan terlibat dalam negosiasi antara pasukan Indonesia dan Belanda pada awal Januari 1947.
Berdinas di Maluku
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1950, Muhammad Djosan meninggalkan Sumatra Barat. Ia berdinas di Ambon sebagai residen. Di sana, ia menjalankan peran mengawasi diskusi lintas agama antara Muslim dan Kristen serta penggantian Bupati Maluku Selatan dan Bupati Maluku Tengah.
Pada 1 Februari 1955, Djosan mulai menjabat sebagai Penjabat Gubernur Maluku pada 1 Februari 1955. Gubernur sebelumnya, Johannes Latuharhary, dicopot dari jabatannya karena tekanan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Masyumi. Latuharhary menyerahkan jabatannya kepada Djosan selang beberapa hari, yakni pada tanggal 9 Februari.
Menjelang pemilihan gubernur defenitif pada 1955, Djosan menjadi salah saat calon yang diusulkan. Namun, saat itu, Djosan merupakan anggota PSI yang tidak dominan di DPRD. Ia memutuskan untuk pindah ke Partai NU.
Sementara itu, Partai Masyumi dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) sebagai pemenang dalam Pemilu 1955 membuat kesepakatan bahwa gubernur harus etnis Maluku dan jika gubernur beragama Kristen, sekretarisnya harus Muslim; begitu pula sebaliknya.
Partai Masyumi menunjuk Abdullah Soulisa, mantan Bupati Maluku Selatan, sebagai calon mereka, sedangkan Parkindo menunjuk Martinus Putuhena, Johannes Leimena, dan M. A. Pellaupessy.
Terpilih Sebagai Gubernur Maluku
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), seorang anggota NU, akhirnya memilih Muhammad Djosan ketimbang calon lainnya pada sidang kabinet pada 25 November 1955 dan mengangkat Djosan sebagai gubernur definitif pada 6 Januari 1956. Empat tahun setelah itu, Djosan mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur pada tahun 1960.
Pengangkatan Djosan menuai kritik dari PNI, Parkindo, dan Masyumi. PNI menolak mengakui jabatan gubernur Djosan, sementara Parkindo dan Masyumi menganggap Djosan melanggar konsensus mereka tentang etnisitas gubernur.
Surat kabar Masyumi di Maluku, Tifa, memuat pernyataan dari berbagai pihak di Maluku yang tidak setuju dengan penunjukan Djosan sebagai gubernur dan meragukan ketidakberpihakan Mendagri dalam proses pemilihan gubernur Maluku.
Di sisi lain, Parkindo meminta pemerintah pusat untuk mengangkat lebih banyak PNS lokal untuk pemerintah Maluku. PSI adalah satu-satunya partai bersama NU yang mendukung jabatan gubernur Djosan dan berusaha mengadakan pertemuan menggalang dukungan untuk Djosan, tetapi pertemuan itu berakhir tanpa hasil yang signifikan.
Baca juga: Anwar Ilmar, Urang Awak yang Jadi Bupati Merauke dan Jayapura hingga Wakil Gubernur Jakarta
Menanggapi kritikan yang muncul, Mendagri menyatakan Djosan adalah sosok "tegas, kompeten, dan berpengalaman dalam urusan administrasi" dan "berani bertindak dan berinisiatif".
Muhammad Djosan mengakhiri jabatannya sebaagai Gubernur Maluku pada 1960. Penerusnya adalah Muhammad Padang, yang juga berasal dari keluarga Minangkabau. [den]