Suluah.com – Prof. Dr. Mohammad Ali Hanafiah gelar Sutan Maharaja adalah seorang dokter dan ahli farmasi Indonesia. Ia merupakan Dekan Perguruan Tinggi Ahli Obat (cikal bakal Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada) dari September 1945 sampai September 1946.
Sebagai dokter, ia pernah bertugas di beberapa daerah di Sumatra dan Jawa. Namanya dibadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Batusangkar, Tanah Datar, Sumatra Barat.
Kehidupan Awal
Ali Hanafiah lahir pada 11 Juli 1900 di Kota Padang Panjang. Keluarganya berasal dari Nagari Lubuk Jantan, Tanah Datar. Ayahnya bernama Mohammad Yasin gelar Datuk Muntiko Rajo, seorang jaksa kepala di Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman.
Ali Hanafiah merupakan adik Siti Hasnah, istri Achmad Mochtar, orang Indonesia pertama yang menjabat Direktur Lembaga Eijkman. Ia juga sepupu Abu Hanifah, seorang dokter dan seniman Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1949–1950).
Ali Hanafiah menyelesaikan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) Padang Panjang. Setelah lulus pada tahun 1916. Setelah itu, ia menempuh pendidikan di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).
Karier sebagai Dokter
Ali Hanafiah mulai bekerja sebagai dokter pada 11 September 1926 semasa pemerintahan Hindia Belanda. Ia bertugas di beberapa tempat di Sumatra dan Jawa seperti Surabaya, Solok, Baturaja, Malang, dan Tangerang (sejak 1939).
Saat di Baturaja, ia berdedikasi membantu korban gempa bumi di Sumatra Selatan pada Juni 1933 sehingga mendapat penghargaan Bintang Perak Besar dari pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi pengajar farmasi di perguruan tinggi kedokteran Ika Dai Gaku (sebelumnya STOVIA) yang dibuka kembali pada 29 April 1943 setelah sempat ditutup Jepang. Saat itu, tidak banyak orang Indonesia yang mengajar di sana.
Pada 22 September 1943, Ali Hanafiah menjadi asisten profesor Ika Dai Gaku. Pada tahun yang sama, ia juga menjadi asisten Lembaga Eijkman.
Menjelang akhir pendudukan Jepang, ia ditangkap oleh Kempeitai bersama para peneliti Lembaga Eijkman pada 7 Oktober 1944. Penangkapannya terkait Peristiwa Doktor Mochtar. Ia bebas pada Januari 1945 setelah meringkung di tahanan selama 105 hari.
Dekan Perguruan Tinggi Ahli Obat
Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengambil alih Ika Dai Gaku dan menamakannya menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran. Di bawah perguruan ini, terdapat Perguruan Tinggi Ahli Obat (PTAO), yang kelak menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ali Hanafiah menjadi Dekan PTAO pertama terhitung sejak September 1945 sampai September 1946. Bersamaan dengan itu, ia mendapat pangkat guru besar. Namun, semasa kepemimpinannya, PTAO tidak dapat menjalankan aktivitas akademik dengan lancar. Pasalnya, saat itu Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu.
Pertempuran terjadi di mana-mana, termasuk Jakarta yang merupakan tempat kedudukan PTAO. Akibatnya, PTAO diungsikan ke Klaten pada September 1946 dan posisi Ali Hanafiah sebagai Dekan PTAO digantikan oleh Sardjito.
Ketika perang kemerdekaan makin berkecamuk, PTAO terpaksa menghentikan kegiatan akademiknya. PTAO kelak dibuka kembali pada 1949 dan kini menjadi bagian UGM.
Sembari menjadi Dekan PTAO, Ali Hanafiah juga diperbantukan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejak Desember 1945. Ia bertugas di beberapa jabatan di Kemenkes seperti Kepala Perbekalan dan Obat-Obat, Kepala Jawatan Rumah-Rumah Sakit dan Bagian Ilmu Pengetahuan, dan terakhir Kepala Direktorat Farmasi.
Baca juga: H.B. Saanin, Ahli Psikiatri Indonesia yang Terlupakan
Pada 1957, ia menghadiri sidang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Belanda yang membahas tentang kesehatan masyarakat.
Ali Hanafiah pensiun pada 1957. Meski pensiun, ia aktif dalam berbagai badan dan panitia dalam organisasi Kemenkes serta memberi kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada 1970, ia mendapat Surat Penghargaan atas berbagai jasanya di bidang kedokteran dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). [den]