Suluah.com – Abdul Latif Syakur adalah seorang ulama ahli tafsir yang berkiprah dalam pemajuan pendidikan perempuan dan pers. Ia membidani lahirnya majalah Islam umum, Pewarta Islam, dan majalah Islam khusus perempuan, Djauharah.
Ia terkenal karena cara dakwahnya yang elegan dan persuasif. Ia mampu mengubah kebiasaan yang bertentangan dengan Islam di tengah masyarakat dengan menghilangkan sebab-sebab mereka melakukan kebiasaan tersebut alih-alih memberi cap sesat atau bid’ah.
Kehidupan Awal
Abdul Latif Syakur lahir pada 15 Agustus 1882 di Desa Aie Mancua, Nagari Singgalang, Tanah Datar, Sumatra Barat dari pasangan Muhammad Amin dan Fatimah. Kedua orang tuanya berasal dari Desa Balai Gurah, Agam.
Abdul Latif kehilangan ibunya saat berusia enam tahun. Setelah itu, ia diasuh oleh ayahnya. Sang ayah adalah seorang pekerja borongan yang pernah terlibat dalam pekerjaan membuat jembatan kereta api di Lembah Anai.
Pada umur tujuh tahun, ia dibawa oleh sang ayah ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia dititipkan kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi agar dapat menimba ilmu agama. Di bawah asuhan Imam Besar Masjidil Haram tersebut, Abdul Latif mempelajari berbagai disiplin ilmu keislaman. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang alim.
Dalam usia masih 10 tahun, Abdul Latif sudah dipercaya sang guru untuk mengajar kelas pemula untuk dasar-dasar Islam dan bahasa Arab. Salah seorang yang pernah menjadi muridnya adalah Muhammad Djamil Djambek, yang secara umur lebih tua darinya. Di tengah masa belajarnya, sang ayah meninggal.
Mulai Berdakwah
Pada 1902, dalam usia 19 tahun, Abdul Latif Syakurpulang ke kampung halamannya usai 13 tahun lamanya belajar di Mekkah. Ia pulang tepatnya ke tanah kelahiran sang ayah, Balai Gurah. Rupanya, karena lama menetap di Mekkah, ia tak lagi fasih berbahasa Minangkabau. Oleh sebab itu, hal pertama yang ia lakukan adalah berbaur dengan masyarakat. Hal itu ia lakukan sekaligus untuk mengenali kebiasaan mereka.
Pada saat kepulangannya, masyarakat Balai Gurah masih banyak yang melalaikan kewajiban agama. Bahkan, ada pula yang melakukan kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, seperti berjudi, menghisap candu, dan sabung ayam.
Dengan persuasif, ia memulai upayanya untuk memperbaiki perilaku masyarakat. Alih-alih memusuhi mereka, ia malah ikut serta dalam setiap kegiatan mereka. Namun, secara perlahan, ia menyampaikan pesan-pesan agama sembari menyeru agar mereka melaksanakan kewajiban sebagai seorang Muslim.
Pada tahun 1912, Abdul Latif mendirikan lembaga pendidikan Islam bernama Madrasah Tarbiyah Hasanah di Balai Gurah. Di sini, ia mengajarkan baca tulis Al-Quran dan berbagai ilmu keislaman seperti ibadah, akhlak, fikih, dan ilmu alat bahasa Arab.
Meskipun hanya menempati sebuah surau, lembaga pendidikan ini sudah menerapkan metode pembelajaran modern ditandai dengan pembagian kelas, memiliki kurikulum, dan penggunaan alat-alat pembelajaran. Namun, eksistensi madrasah ini berakhir begitu saja ketika Abdul Latif meninggal pada 1963
Mendorong Kemajuan Pendidikan Perempuan
Abdul Latif memberikan perhatian khusus pada kemajuan perempuan dan mendorong mereka agar dapat menentukan pilihan hidup masing-masing. Di Madrasah Tarbiyah Hasanah asuhannya, ia menyekolahkan Sa'diyah Syakurah, anak perempuannya. Tindakannya ini mendorong banyak keluarga di Balai Gurah menyekolahkan anak perempuan mereka.
Tak hanya memberi kesempatan pendidikan, Abdul Latif mewadahi murid-murid perempuan di Madrasah Tarbiyah Hasanah untuk menulis. Pada 1923, ia menerbitkan majalah khusus perempuan, Djauharah. Di majalah itulah, Sa'diyah Syakurah dan murid-murid perempuan lainnya menulis menyuarakan pandangan mereka.
Karya Abdul Latif Syakur
Selain aktif berceramah dan mengajar, Abdul Latif Syakur produktif menulis. Perspektifnya tentang Islam ia tuangkan dalam sejumlah karya yang menyangkut tema fikih, akhlak, dan tauhid. Setidaknya, ada 30 judul karya Abdul Latif Syakur yang telah terdata.
Karya tersebut di antaranya meliputi tafsir, seperti Tafsir Yā Ayyuha an-Nâs, Tafsīr Yā Ayyuha Al-Lażīna Āmanū, Tafsir Surah al-Mukminūn, Tafsir al-Mufrodāt al-Qur’an, Tafsīr al-Khalīq, dan l-Da’wah wa al-Irsyâd ilâ Sabîl al-Rasyâd. Buku terakhir menekankan kewajiban dakwah bagi setiap orang Islam disertai tuntunan praktis dalam berdakwah.
Di bidang keilmuan Islam lainnya, karya Abdul Latif Syakur yakni Mabādi’ al-Qāri seputar tata cara membaca Al-Quran; Ta’līm al-Qirāah al-‘Arabiyah tentang ilmu tajwid; Ta’līm al-Qirāah al-‘Arabiyah berisi tuntunan bahasa Arab; Sullam al-‘Arab Ilā Lughah al-‘Arab (2 jilid) semacam kamus bahasa Arab; dan Mabādi al-‘Arabiyah wa Lughatuna seputar morfologi bahasa Arab.
Berikutnya, Lataif al-Hadith al-Nabawiyyah (2 jilid) mengenai hadis; Tarbiyah al-Islamiyah fi Durus al-Fiqhiyyah soal fikih; Al-Tarbiyah wa al-Ta’līm Qism al-Tauhīd berisikan pengertian pilar-pilar Islam seperti iman, ihsan, dan berbagai persoalan akidah; serta Taqrib al-Mujazah tentang penyelenggaraan jenazah.
Lalu, karya-karya seputar akhlak yakni: Akhlāqunā al-Adabiyah dan Al-Akhlaq wa al-‘Adāb; seputar sejarah: Tambo Islam dan Mulakhaṣ al-Tārīkh al-Islāmi; serta seputar tauhid yakni Kitāb at-Tauḥīd dan Risalah Lathifah.
Abdul Latif Syakur juga menulis buku yang mengangkat tema perempuan, yakni Dunia Perempuan, berisi panduan bagaimana perempuan berkiprah dan bergaul menurut Al-Quran dan hadis. Selanjutnya, ia menulis Al-Tarbiyah wa al-Ta’līm Qism al-Tauhīd, berisikan pengertian pilar-pilar Islam seperti iman, ihsan, dan berbagai persoalan akidah.
Ia juga menerjemahkan dan memberi komentar terhadap beberapa buku, seperti Al-Fiqh al-Akbar karya Imam Syafii yang berisikan tentang seluk beluk hukum Islam. Selain itu, ia menulis karya bercorak sastra, di antaranya Khithabah berupa naskah kumpulan pidatonya dalam berbagai tema, dan Nazham Nasehat berisi ujaran nasihat soal budi pekerti. Terakhir, ia menulis autobiografi berjudul Al-Mu’ashārah.
Posisi Abdul Latif Syakur dalam Perdebatan Ulama
Hingga akhir hayatnya, Abdul Latif Syakur tidak terlibat dalam kegiatan apapun yang mengarah pada politik. Selain menarik diri dari gelanggang politik, ia cenderung tidak terlibat dalam polemik keagamaan yang pada awal abad ke-20 sempat mewarnai kehidupan beragama masyarakat Minangkabau.
Abdul Latif mengambil langkah moderat dan tidak membuat konfrontasi dengan salah satu kelompok ulama. Ia berpandangan, perdebatan yang terjadi antara ulama hanya bersifat khilafiyah.
Menurut Abdul Latif, perdebatan soal khilafiyah tidak membawa kemajuan bagi peradaban Islam. Apalagi jika perdebatan itu dijalankan secara frontal, alih-alih memberi manfaat, yang ada justru mendatangkan perpecahan.
Keluarga Abdul Latif Syakur
Semasa hidupnya, Abdul Latif menikah beberapa kali tidak dalam waktu bersamaan, tetapi hanya tiga dari mereka yang memberinya keturunan. Ia awalnya menikah dengan Rafan dan Kama. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak.
Selanjutnya, ia menikahi Maryam asal Koto Tuo, melahirkan empat orang anak, yakni Sa’diyah Syakurah, Sha’nuddin, Sha’dullah, dan Latifah.
Setelah itu, Abdul Latif menikah lagi dengan Raqiyah dari Bonjo Alam, tidak melahirkan anak. Lalu, ia menikah untuk kelima kalinya dengan Kamaliyah asal Balai Gurah dan memiliki seorang anak bernama Muhammad Sa’id Syakur.
Terakhir, ia menikahi dengan Aisyah asal Kamang, Ka’isah asal Balai Gurah, dan Rafi’ah asal Panampuang. Ka’isah melahirkan lima orang anak yakni Shu’ada, Syafiuddin, Mahdiyah, Nafisah, dan Syafruddin.
Abdul Latif mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Pusat M. Djamil, Padang pada 13 Juni 1963. Menjelang wafat, ia masih rutin berceramah, mengajar, dan menulis. Jezanahnya dimakamkan di Balai Gurah pada keesokan hari. [den]