Abdullah Ahmad adalah seorang ulama Minangkabau yang kiprahnya menonjol di bidang dakwah dan pendidikan. Ia berjasa dalam modernisasi pendidikan Islam dengan mendirikan Adabiyah School di Padang pada tahun 1909.
Selain itu, ia bersama Abdul Karim Amrullah turut membidani lahirnya Sumatra Thawalib yang berawal dari Surau Jembatan Besi di Padang Panjang. Mereka kelak menjadi orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.
Kehidupan Awal
Abdullah Ahmad lahir pada 1878 di Kota Padang Panjang, Sumatra Barat (Sumbar). Ia merupakan anak dari Haji Ahmad, seorang guru agama dan pedagang kain bugis di Padang.
Abdullah Ahmad memiliki paman bernama Syekh Abdul Halim atau dikenal pula sebagai Syekh Gapuk yang merupakan pendiri Masjid Raya Ganting. Sang paman memberikan banyak pengaruh baginya dalam mempelajari ilmu agama.
Abdullah Ahmad sempat mengenyam pendidikan dasar di Padang Panjang. Setelah itu, ia berangkat ke Tanah Suci pada tahun 1985 untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama.
Saat itu, usianya sudah 17 tahun. Ia bermukim di Mekkah selama empat tahun dan belajar ilmu agama kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Berkat ketekunan dan kecerdasannya dalam menguasai pengetahuan agama, ia pernah menjadi asisten Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Mengajar di Surau Jembatan Besi
Abdullah Ahmad kembali ke Tanah Air pada tahun 1899. Ia mulai mengajar agama di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang.
Saat itu, Surau Jembatan Besi masih menggunakan metode halaqah dalam pengajarannya. Abdullah Ahmad mencoba melakukan pembaruan dengan memperkenalkan sistem klasikal, tapi upayanya ini malah mendapat tantangan dari masyarakat.
Merasa tak mungkin tetap bertahan di Padang Panjang, ia pindah ke Padang pada 1906, bertepatan saat pamannya Syekh Gapuk meninggal dunia. Abdullah Ahmad dipercaya untuk menggantikan pamannya mengajar di Masjid Raya Ganting selama tiga tahun.
Di Padang, ia mengadakan tablig-tablig dan pertemuan guna membicarakan berbagai masalah agama. Untuk kepentingan ini, ia mendirikan perkumpulan Adabiah. Pada mulanya, perkumpulan ini hanya merupakan sekelompok murid-muridnya yang berjumlah 18 orang yang tanpa absen menghadiri ceramah-ceramahnya.
Ia juga memberikan pelajaran kepada kira-kira 300 orang penduduk Kota Padang. Sebagian murid-muridnya terdiri dari orang-orang dewasa. Pengajian ini berlangsung dua kali seminggu secara bergantian dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya.
Mendirikan Adabiyah School
Sejak kembali dari Mekkah, Abdullah Ahmad berupaya memperbaiki pendidikan Islam di Sumbar dengan membuka sekolah Adabiyah School pada 1909. Ia mengambil contoh kepada cara yang dilakukan orang Belanda yang telah lama berhasil dalam bidang pendidikan.
Pada awalnya, Adabiyah School hanya memiliki 20 orang murid yang sebagian besar merupakan anak pedagang setempat. Sekolah ini setingkat dengan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Belanda. Perbedaannya terdapat pada pelajaran Al-Quran dan pelajaran agama sebagai tambahannya.
Pada 1915, sekolah ini menerima subsidi dari pemerintah Belanda dan mengubah namanya menjadi Hollands Maleisch School (HMS) Adabiyah. Waktu itu, Adabiyah di bawah pimpinan seorang Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, HMS Adabiyah berganti nama menjadi SR, SMP, dan SMA Adabiyah.
Menyatukan Ulama Minangkabau
Abdullah Ahmad memiliki hubungan baik dengan sejumlah ulama Minangkabau. Hal ini melapangkan jalan baginya untuk menghimpun mereka dalam Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial.
Lewat PGAI, ia berupaya menyatukan guru-guru agama baik Kaum Muda maupun Kaum Tua. Namun demikian upaya ini gagal karena pada waktu yang sama, ulama Kaum Tuo mendirikan organisasi Ittihadul Ulama di bawah pimpinan Sulaiman Ar-Rasuli.
Pada 1931, PGAI mendirikan Normal Islam (atau Kulliyah Mu'allimin Islamiyah) di bawah pimpinan Mahmud Yunus. Institusi ini mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu umum, bahasa Arab, serta ilmu pendidikan dan keguruan dengan menggunakan sistem baru.
Normal Islam merupakan lembaga pendidikan yang mempersiapkan tenaga calon guru agama Islam. Sekolah ini telah memiliki gedung dan aula yang cukup besar, lapangan olah raga, alat-alat praktek ilmu alam, laboratorium kimia, ilmu hayat, dan ilmu falaq.
Majalah Al-Munir
Selama tahun 1911–1916, Abdullah Ahmad menerbitkan majalah Islam al-Munir. Majalah ini mendapat penerimaan yang baik dari masyarakat.Nomor pertama Al-Munir terbit pada 1 April 1911. Majalah ini tercatat sebagai media massa Islam pertama di Indonesia.
Dalam menerbitkan majalah, ia dibantu oleh beberapa orang sahabatnya, seperti Abdul Karim Amrullah, Muhammad Dahlan Sutan Lembak Tuah, H.M. Thaib Umar, Sutan Muhammad Salim (ayah Haji Agus Salim), Marah Muhammad bin Abdul Hamid, dan Sutan Jamaluddin Abubakar.
Setelah Al-Munir, Abdullah Ahmad mendirikan majalah berita Al-Akhbar pada 1913. Ia juga menjadi redaktur bidang agama majalah Al-Islam milik Syarikat Islam di Surabaya pada 1916.
Tidak Terlibat dalam Politik
Abdullah Ahmad betul-betul seorang pendidik sejati. Ia tidak mau mencampurkan masalah pendidikan dengan masalah politik dan tidak pula menjadi tokoh politik, seperti kebanyakan teman-temannya. Oleh sebab itu, Abdullah Ahmad dianggap sebagai tokoh pendidikan murni.
Pada 1926, Abdullah Ahmad bersama dengan Abdul Karim Amrullah diundang ke Mesir untuk menghadiri Kongres Khilafah se-Dunia. Selama di Mesir, kedua ulama ini telah menarik perhatian ulama-ulama Universitas al-Azhar,
Sebagai pengakuan terhadap keahlian kedua ulama tersebut tentang Islam, Universitas Al-Azhar memberi gelar doktor kehormatan kepada Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah.
Abdullah Ahmad meninggal pada bulan November 1933 di Padang dalam usia 55 tahun. Untuk mengenang jasa-jasanya, Pemerintah Kota Padang menyematkan namanya sebagai nama jalan dari Bank Indonesia menuju rumah sakit dr. M. Djamil melalui PGAI.