Cerita Saksi Hidup Soal Pembangunan Lubang Jepang di Bukittinggi

Kisah Penuturan Seorang Bekas Perwira Bala Tentara Jepang yang Ditugaskan Membuat Lubang Perlindungan Jepang ditulis oleh Hirotada Honjyo pada 17 April 1997, beberapa tahun sebelum ia meninggal dunia pada 2001.

Hirotada Honjyo. [Foto: Ist.]

Berapa banyak pekerja yang terlibat dalam pembangunan Lubang Jepang? Benarkah Lubang Jepang dibangun sebagai benteng pertahanan?

Kali ini, Suluah.com menurunkan cuplikan Kisah Penuturan Seorang Bekas Perwira Bala Tentara Jepang yang Ditugaskan Membuat Lubang Perlindungan Jepang dari situs arsip Pemerintah Kota Bukittinggi.

Kisah itu ditulis oleh Hirotada Honjyo pada 17 April 1997, beberapa tahun sebelum ia meninggal dunia pada 2001.

Siapa Hirotada Honjyo?

Hirotada Honjyo merupakan saksi hidup pembangunan Lubang Jepang. Ia lahir pada 1 Januari 1908 di kota kecil Iizuka, Provinsi Fukuoka, Kepulauan Kyushu, Jepang. Ia merupakan tamatan Fakultas Hukum Hosei University, Tokyo. Ia bekerja di perusahaan tambang batu bara, Asou Koggyo.

Sebagai pekerja tambang batu bara, ia memiliki pengetahuan dasar tentang pertambangan dan terowongan. Sampai suatu ketika, saat Perang Asia Pasifik berlangsung, ia diinstruksikan oleh Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Bala Tentera Jepang, Letjen Moritake Tanab untuk membuat "lubang perlindungan" di Bukittinggi.

Bunyi Instruksi Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Bala Tentara Jepang Panglima Letjen Moritake Tanabe yakni membuat sebuah lubang perlindungan yang bisa menahan getaran letusan bom sekuat 500 kg. Lubang itu dilengkapi dengan ruangan-ruangan untuk keperluan Markas Besar, ruang kantor, dan fasilitas lainnya untuk keperluan Divisi ke-25 Angantan Darat.

Waktu itu, Hirotada Honjyo berpangkat Kapten Angkatan Darat dan bertugas sebagai juru bayar yang merencanakan, membuat, dan mengawasi pelaksanaan "lubang perlindungan" yang kini kita kenal sebagai Lubang Jepang.

“Walaupun telah lewat 50 tahun lebih, saya masih ingat menggambarkan dan menyatakan cara pembuatan dan perencanaan pelaksanaan lubang lindungan tersebut,” kata Hirotada memulai kisahnya.

Awal Pembangunan Lubang Jepang

Hirotada menjelaskan, konstruksi Lubang Jepang mulai dikerjakan bulan Maret 1944, dan selesai pada awal Juni 1944. “Hal ini tidak bisa saya lupakan, karena sampai sekarang ada album kenang-kenangan yang saya simpan,” katanya.

Pembuatan terowongan dikerjakan di bawah pimpinan tiga ahli tambang batu bara, yakni Toshihiko Kubota, Ichizo Kudo, dan Uhei Koasa. Mereka dikirim dari perusahaan Hokkaido — Tanko Kisen Co. Perusahaan tambang batu bara ini selama pendudukan Jepang di Sumatra Barat juga mengerjakan tambang batu bara Ombilin.

Pengerjaan Lubang Jepang dijalankan menurut pembagian peranan keahlian. Pembagian itu, misalnya, “sakiyama” atau membuat galian dan “atoyama” atau mengambil galian “sakiyama”. Jadi “atoyama” dikerjakan sesudah pelaksanaan “sakiyama.” Urusan “sakiyama” dikerjakan oleh ahli-ahli bangsa Jepang, sementara “atoyama” dikerjakan orang-orang Indonesia dan buruh-buruh harian.

Lubang dibuat sempit, dapat dilalui seorang dengan membawa alat-alat pengebor, sehingga tidak dapat dikerjakan oleh banyak orang. Mereka yang bertugas menggali terlebih dulu membuat dinding kayu untuk menahan reruntuhan.

Setiap harinya, pembangunan Lubang Jepang melibatkan rata-rata 50–100 orang tenaga kerja . Para pekerja ini didatangkan dan disediakan oleh Kantor Kotapraja Bukittinggi, yang terdaftar dan dibayar sebagai buruh harian. Mereka membawa bekal makanan sendiri untuk makan siang.

Untuk bisa menahan getaran letusan bom di atas 500 kg, sebagaimana instruksi Moritake Tanabe, para pekerja melakukan penggalian sedalam 40 meter dari permukaan bumi atau 20 m dari ujung penggalian jurang tebing.

Selain itu, terdapat konstruksi berbentuk “torii gumi”, menyerupai pintu depan lambang agama Shinto, yaitu bagian bawah lebih besar daripada bagian atas. Tujuannya, yakni menguatkan dan mengokohkan dinding lubang.

Setelah pembangunan Lubang Jepang selesai, semua berkas mengenai rencana, gambar, spesifikasi, dan anggaran pembangunan lenyap begitu saja. Hirotada mengatakan semua dibakar sesaat bala tentara Jepang kalah, tanggal 15 Agustus 1945, sesuai perintah Panglima Letjen Moritake Tanabe.

Berkapasitas 1.000 Orang

Hirotada mengatakan, tidak ada terjadi insiden atau kecelakaan selama tiga bulan ia bertugas mengawasi pembangunan Lubang Jepang. Tentara Jepang, katanya lagi, sama sekali tidak menggunakan senjata baik senjata berupa pedang samurai maupun senjata api lainnya.

“Saya adalah seorang perwira staf keuangan, sebagai ahli juru bayar, dan selama bertugas tidak menggunakan kekuasaan tentara dan fasilitas lainnya. Kepada saya diperbantukan seorang sersan dari Markas Besar Panglima dan beberapa lori untuk keperluan angkutan kerja,” tutur Hirotada.

Menurut Hirotada, Lubang Jepang kurang tepat dianggap sebagai benteng pertahanan, melainkan hanya bungker untuk melindungi diri agar terhindar dari serangan bahaya udara. Konstruksi Lubang Jepang tidak rahasia sama sekali.

Baca juga: Rencana Rahasia Jepang di Lubang Jepang Bukittinggi

Peruntukkan Lubang Jepang terbagi dua. Satu blok khusus untuk keperluan Markas Besar Divisi ke-25 Angkatan Darat. Satu blok lagi yang lebih aman terhindar dari serangan bahaya udara, dapat melindungi dan menyembunyikan diri. Tiap ruangan terhubung dengan jalan udara dari ujung jurang tebing yang agak besar sampai ke ujung yang lebih kecil. Sehingga udara segar bisa leluasa berlalu-lintas di dalamnya.

Kapasitas Lubang Jepang yakni 500 orang atau 1.000 orang dalam keadaan darurat. Di dalam lubang, tidak ada dapur. "Sebab kalau memasak (di dalam), akan mengurangi zat asam, mengeluarkan asap yang mengusik oksigen," tandasnya. [den]

Baca Juga

Hotel Centrum adalah bekas hotel di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat yang dibangun pada masa kolonial Belanda
Hotel Centrum Bukittinggi, Pernah Dibumihanguskan, Kini Sengketa Lahan
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah
NV Kedjora adalah percetakan dan penerbit terkenal di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat (Sumbar) yang berdiri pada 17 September 1952
Sejarah NV Kedjora, Percetakan dan Penerbit Terkenal di Bukittinggi
Jam Gadang pernah dipasangi papan reklame di puncaknya pada 1929 dan menimbulkan protes dari warga
Jam Gadang Pernah Punya Papan Reklame Raksasa di Puncaknya
Tabuah masih dapat kita jumpai hingga sekarang, terutama di surau atau masjid tua di Sumatra Barat
Tabuah di Minangkabau, Dari Penanda Waktu Salat Hingga Perang
Masjid Jamik Tigo Baleh tercatat sebagai salah satu masjid terawal di Kota Bukittinggi yang dahulu bernama Nagari Kurai Limo Jorong.
Masjid Jamik Tigo Baleh, Masjid Pertama di Bukittinggi