Sejarah MUI Sumbar, Pionir Lahirnya MUI Pusat

MUI Sumbar menjadi pionir lahirnya MUI pusat. Sumbar sudah memiliki majelis ulama yang independen pada 1968, sementara MUI lahir pada 1975.

Logo Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Suluah.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat (Sumbar) berdiri jauh sebelum terbentuknya MUI pusat. MUI Sumbar bahkan menjadi pionir lahirnya MUI pusat.

Sumbar sudah memiliki MUI (dulu hanya Majelis Ulama) sendiri yang independen pada 27 Mei 1968, sementara MUI pusat terbentuk pada 26 Juli 1975 di Jakarta. Bagaimana sejarahnya?

Berawal di Masjid Jamik Birugo

Lahirnya Majelis Ulama Sumbar berawal dari musyawarah ulama Sumatera Barat di Masjid Jamik Birugo, Bukittinggi dari tanggal 16 sampai 27 Mei 1968.

Peserta musyawarah sepakat menjadikan Mansoer Datuak Palimo Kayo atau akrab disapa Buya Mansoer sebagai Ketua Majelis Ulama Sumbar pertama.

Buya Mansoer hampir sepantaran dengan Buya Hamka. Buya Mansoer yang lahir pada 1905 hanya lebih tua tiga tahun dari Buya Hamka yang lahir pada 1908. Keduanya sama-sama seorang ulama terkenal asal Sumbar.

Suatu waktu pada tahun 1970, Buya Hamka bertamu ke rumah Buya Mansoer di Jambu Air, dekat Masjid Raya Birugo.

Dalam perbincangan dengan Buya Mansoer, Buya Hamka mengatakan hendak membawa ide pendirian Majelis Ulama yang ada di Sumbar ke tingkat nasional. Buya Hamka juga meminta Buya Mansoer untuk tinggal di pusat (Jakarta) mengurus MUI.

Buya Mansoer dengan senang hati mempersilakan keinginan Buya Hamka membentuk MUI pusat. Namun, menurut Buya Mansoer, cukup Buya Hamka saja yang mengurusnya.

Dari tanggal 26 Juli sampai 2 Agustus 1975, berlangsung musyawarah ulama se-Indonesia membahas pembentukan MUI di Jakarta. Hasilnya, Buya Hamka terpilih secara aklamasi sebagai Ketua MUI pertama.

"Keberadaan MUI pusat belajar dari Majelis Ulama Sumbar," kata Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar sebagaimana dikutip dari situs Kementerian Agama.

Setelah MUI terbentuk, Buya Hamka datang ke Bukitinggi. Majelis Ulama Sumbar yang sudah ada, dalam suatu pertemuan yang dipandu Buya Hamka, langsung diintegrasikan di bawah MUI.

"Ulama (di Sumbar) dahulu telah berbuat sebelum yang lain memikirkan," ujar Gusrizal Gazahar.

Ketua MUI Sumbar dari Masa ke Masa

Buya Mansoer memimpin MUI Sumbar hingga ia mengembuskan napas terakhir pada tahun 1985. Penerusnya adalah Djalaluddin yang menjabat dari tahun 1985 sampai tahun 1995 dan Amir Syarifuddin dari tahun 1995 hingga tahun 2000.

Baca juga: Masjid Jamik Birugo, Tempat Pertemuan Para Ulama dan Lahirnya MUI

Pada 2000, Mansoer Malik terpilih sebagai ketua yang baru. Namun, ia meninggal di tengah masa tugasnya pada Juni 2003. Penggantinya adalah Nasrun Haroen yang menjabat hingga tahun 2010.

Dari tahun 2010 hingga 2015, Ketua MUI Sumbar adalah Syamsul Bahri Khatib. Terakhir, sejak 2015 hingga sekarang, MUI Sumbar dipimpin oleh Gusrizal Gazahar. (den)

Baca Juga

Fachry Hamka adalah seorang wartawan dan pemain film Indonesia. Ia merupakan putra dari Buya Hamka. Salah satu karya terkenalnya yakni film Para Perintis Kemerdekaan (1977).
Fachry, Anak Buya Hamka yang Bergelut di Dunia Perfilman
Kisah Penuturan Seorang Bekas Perwira Bala Tentara Jepang yang Ditugaskan Membuat Lubang Perlindungan Jepang ditulis oleh Hirotada Honjyo pada 17 April 1997, beberapa tahun sebelum ia meninggal dunia pada 2001.
Cerita Saksi Hidup Soal Pembangunan Lubang Jepang di Bukittinggi
Keberadaan Baha'i di Sumbar belum begitu mendapat perhatian. Sumbar menjadi salah satu daerah dengan penganut Baha'i terbanyak di Indonesia.
Jejak Baha'i di Sumbar, Dulu Miliki Ribuan Penganut
Jepang membangun Lubang Jepang karena diduga ingin menjadikan Bukittinggi sebagai tempat tinggal Kaisar Jepang kelak. Bagaimana kisahnya?
Rencana Rahasia Jepang di Lubang Jepang Bukittinggi
Masjid Raya Cupak menjadi saksi perjuangan masyarakat Cupak mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ada peran Buya Hamka dalam pembangunannya.
Masjid Raya Cupak, Pernah Dihancurkan Belanda dan Peran Buya Hamka
Ajaran Ahmadiyyah di Indonesia disebarkan oleh tiga pelajar dari Ranah Minang. Mereka yakni Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan.
Ahmadiyah di Indonesia Dibawa oleh Tiga Pelajar Minang