Abdul Hamid Hakim, Ulama Ahli Fikih dan Pemimpin Thawalib Padang Panjang

Abdul Hamid Hakim adalah seorang ulama bidang fikih dan pemimpin Thawalib Padang Panjang.

Abdul Hamid Hakim. [Foto: Ist.]

Suluah.com – Abdul Hamid Hakim adalah seorang ulama bidang fikih dan pemimpin Thawalib Padang Panjang. Ia ikut mendampingi Haji Rasul memajukan perguruan Islam yang berawal dari Surau Jembatan Besi tersebut.

Ia menulis beberapa buku tentang fikih yang dipakai luas di jaringan perguruan Thawalib, bahkan masih menjadi rujukan para santri hingga saat ini. Di antara bukunya yakni Mabadi'u Awwaliyyah, Al-Sulham, Al-Bayan, dan Al-Mu'inul Mubin.

Kehidupan Awal

Abdul Hamid Hakim lahir pada 1893 di Nagari Sumpu, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Ia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Hamid dan Cari. Kakak tertuanya bernama Muhammad Nur dan yang kedua bernama Husein. Adapun adik-adiknya yakni Hasan, Halimah, dan Sofya.

Ia melewati masa kecil di Kota Padang karena mengikuti sang ayah yang berdagang di sana. Setelah tamat SD, ia belajar agama selama dua tahun di Sungayang kepada Syekh Muhammad Thaib Umar.

Di Sungayang, Abdul Hamid Hakim mempelajari tauhid, tafsir, hadis, dan ilmu alat bahasa Arab. Pada 1910, Abdul Hamid Hakim meneruskan belajar ke Sungai Batang kepada Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, ayah Buya Hamka.

Murid Kesayangan Haji Rasul

Dalam menuntut ilmu, ia tak kenal waktu. Seringkali, ia mempelajari kitab-kitab sampai larut malam meski dengan penerangan seadanya. Tak ayal, ia menjadi murid yang cerdas dan disayangi oleh gurunya, Haji Rasul.

Buya Hamka menyebut kesungguhan Abdul Hamid Hakim dalam belajar senantiasa jadi contoh oleh sang ayah kepada murid-muridnya yang lain. Bahkan, Haji Rasul memperlakukan dia seolah-olah anaknya sendiri.

Sebagai murid kesayangan, Abdul Hamid Hakim setia mendampingi Haji Rasul, termasuk ketika sang guru pindah ke Kota Padang pada 1912 atas permintaan sahabatnya, Abdullah Ahmad untuk membantu mengelola majalah Al-Munir.

Pada 1914, ketika Haji Rasul pindah lagi ke Padang Panjang dan mengelola kembali Surau Jembatan Besi (yang telah bertransformasi menjadi Thawalib), Abdul Hamid Hakim diangkat sebagai guru bantu. Sejak itu, ia populer dengan julukan Angku Mudo Hamid.

Pada 1919, Abdul Hamid Hakim dipercaya sebagai wakil redaktur (muharrir) majalah Al-Munir Al-Manar, yang jamak disebut sebagai kelanjutan dari majalah Al-Munir yang berhenti terbit pada 1915. Majalah ini dipimpin oleh Zainuddin Labay El Yunusy. Tulisan-tulisan Abdul Hamid Hakim kerap muncul di sana, terutama menyangkut persoalan fikih dan akhlak.

Memimpin Thawalib Padang Panjang

Pada 1922, Haji Rasul mengundurkan diri dari kepemimpinan Thawalib, karena menentang kecenderungan Thawalib kepada politik. Meski demikian, Haji Rasul masih tetap bersedia menjadi guru utama.

Namun, sejak 1926, Haji Rasul mundur sama sekali dari Thawalib dan Abdul Hakim Hakim mengambil alih tanggung jawab memimpin perguruan tersebut. Pada masa kepemimpinannya, Thawalib membangun lokal belajar permanen di Jalan Lubuk Mata Kucing (kampus Thawalib Putra sekarang).

Keseharian Abdul Hamid Hakim disibukkan dengan mengajar, terutama dalam mata pelajaran fikih dan ushul fikih. Selain di Thawalib, ia tercatat mengajar di lembaga Diniyah School pimpinan Zainuddin Labay El Yunusy, Diniyah Puteri yang didirikan oleh Rahmah El Yunusiyah, dan Kulliyatul Muballighin milik organisasi Muhammadiyah di Padang Panjang.

Ia juga mengajar di Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah (kini Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat) yang berdiri pada 1948 serta menjadi dosen sekaligus Wakil Rektor Universitas Darul Hikmah yang berdiri pada 1953, dengan rektornya kala itu adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek.

Karya Abdul Hamid Hakim

Lampiran Gambar
Buku al-Mu’in al-Mubin karya Abdul Hamid Hakim cetakan ke-2 tahun 1372 H. [Foto: Ist.]

Kedalaman ilmu Abdul Hamid Hakim dibuktikan lewat karya-karyanya yang turut mewarnai khazanah keilmuan Islam di Indonesia.

Ia menulis beberapa buku: trilogi buku ushul fiqih dan kaidah fikih yakni Mabadi’ ‘Awwaliyyah, As-Sullam, dan Al-Bayan; buku dalam bidang fikih al-Mu’in al-Mubin (5 jilid); buku dalam bidang akhlak Tahzib al-Akhlaq (2 jilid); dan buku syarah dari kitab fikih perbandingan Bidayah al-Mujtahid berjudul Al-Hidayah Ilama Yanbaghi min az-Ziyadah ‘ala al-Bidayah. Namun, buku terakhir tidak sempat ia selesaikan karena menderita sakit.

Ia wafat pada 13 Juli 1959 di kampung halamannya, Sumpu dalam usia 66 tahun. Hingga wafatnya, ia aktif mengajar dan tak kenal lelah mendidik umat melalui wirid-wirid.

Buya Hamka mengenang Abdul Hamid Hakim sebagai sosok pendiam, bersikap santun, dan memiliki ilmu mendalam. Suaranya tidak begitu keras sehingga saat mengajar, para murid harus bersungguh-sungguh mendengarkannya. Bila ada murid yang lalai, ia hanya menegurnya dengan sindiran.

Murid-murid

Abdul Hamid Hakim selalu merangsang para murid untuk kritis dalam berpikir. Ia tidak menjejali mereka dengan suatu pendapat (mazhab) tertentu. Sebaliknya, ia membentangkan perbedaan pendapat yang ada dan para murid bebas menentukan pendapat mana yang mereka ikuti.

Walaupun ia mempunyai kecondongan kepada mazhab Syafi‘i dalam ilmu fiqih, ia tak pernah mencela pendapat-pendapat lain di luar mazhab tersebut.

Metode pendidikan Abdul Hamid Hakim demikian telah melahirkan murid-murid yang berpikiran luas. Tak heran, banyak di antara muridnya kelak menjadi ulama maupun pemimpin terkemuka, bahkan ada yang terjun dalam gelanggang politik.

Sebut saja Ahmad Rasyid Sutan Mansur (pemimpin terkemuka Muhammadiyah), Zainal Abidin Ahmad (Wakil Ketua DPR RI), Mansoer Daoed Dt. Palimo Kayo (duta besar Indonesia), Hamka (ulama dan sastrawan), Mukhtar Yahya (Rektor IAIN Yogyakarta), Ali Hasyimi (Gubernur Aceh), dan Rasuna Said (aktivis perempuan).

Baca juga: Abdul Latif Syakur, Ulama Ahli Tafsir dan Kiprahnya Memajukan Pendidikan Perempuan

Keluarga Abdul Hamid Hakim

Abdul Hamid Hakim adalah seorang ulama bidang fikih dan pemimpin Thawalib Padang Panjang.
Makam Abdul Hamid Hakim. [Foto: Rahmatdenas]

Abdul Hamid Hakim memiliki empat orang istri, yakni Hasnah, Kamsiyah, Rafiah, dan Syarifah. Pernikahannya dengan istri pertama berlangsung singkat dan mereka tidak memiliki keturunan. Dari istri kedua, ia memperoleh enam orang anak, yaitu Zainal Abidin, Na‘imah, Mustafa, Rasmiyah, Duhniar, dan Abdul Aziz.

Dari istri ketiga, ia memiliki lima orang anak, yaitu Khadijah, Rahmah, Muhammad Amin, Mukhtar, dan Syarif. Terakhir, dari istri keempat, ia memiliki empat orang anak, yaitu Hilmi, Mansur, Hilma, dan Hanif. [den]

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an
Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah