Suluah.com – Adam Balai-Balai atau terkenal dengan nama Inyiak Adam adalah salah seorang ulama terkemuka Minangkabau. Ia ikut mendukung perkembangan pendidikan Islam di Minangkabau awal abad ke-20.
Sebelum terkenal sebagai ulama, ia adalah seorang pendekar dan parewa gadang (jagoan besar). Bagaimana kisahnya menjadi ulama?
Kehidupan Awal
Ia lahir di Balai-Balai Padang Panjang sekitar tahun 1889. Ayahnya, Sami’un Dt. Bagindo adalah seorang penghulu pucuk di Suku Sikumbang, sedangkan ibunya, Buliah adalah orang yang taat dalam menjalankan syariat.
Anak tunggal ini memulai pendidikan formalnya di sekolah desa pada pagi hari dan malamnya belajar agama di surau di kampungnya. Setelah itu, Adam Balai-Balai melanjutkan pendidikannya pada sekolah Gouvernement di Padang Panjang.
Selanjutnya, ia merantau ke Sawahlunto dan bekerja sebagai mandor pada Pertambangan Batubara. Setelah jenuh bekerja pada orang Belanda, Adam Balai-Balai kembali ke kampung halamannya.
Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal dan jago silat sehingga diberi julukan "urang bagak". Keinginan untuk mendalami ilmu agama baru muncul ketika Adam Balai-Balai berusia lebih dari 20 tahun.
Pada mulanya, ia belajar agama di Surau Jembatan Besi pimpinan Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan panggilan Inyiak Rasul.
Dua tahun kemudian, ia pindah ke Balingka dan belajar agama pada Daud Rasyidi (Inyiak Daud) yang ketika itu baru pulang dari Mekkah.
Setelah Surau Inyiak Daud mengalami kerusakan akibat galodo pada tahun 1914, Adam Balai-Balai kembali ke Padang Panjang dan belajar ilmu agama di Surau Inyiak Jamil Jaho di Jaho.
Meskipun Adam Balai-Balai agak terlambat mendalami ilmu agama, tetapi kecerdasannya tidak kalah bila dengan murid-murid yang lebih muda darinya. Hal inilah yang membuat guru-guru menyenanginya.
Apalagi, Adam Balai-Balai sangat santun dan menghormati guru-gurunya meskipun ia sering mendapat teguran bila melakukan kesalahan dalam belajar. Hal lain yang membuat gurunya sayang adalah ketekunan Adam Balai-Balai dalam belajar.
Kiprah Adam Balai-Balai
Kiprah Adam Balai-Balai di tengah masyarakat bermula ketika pada tahun 1920-an. Atas bantuan gurunya yakni Inyiak Daud, ia mendirikan surau yang populer dengan nama Surau Pasar Baru di Pasar Baru Padang Panjang.
Pada mulanya, surau ini menggunakan sistem halaqah, tetapi seiring dengan gelombang pembaharuan sistem pendidikan Islam yang dibawa oleh kalangan kaum pembaharu di Minangkabau, Adam Balai-Balai mengubah sistem pendidikannya menjadi klasikal.
Selain itu, nama suraunya berubah menjadi Madrasah Irsyadin Naas (MIN) yang berarti sekolah untuk masyarakat yang hidup sederhana.
Nama Irsyadin Naas konon terinspirasi dari kekaguman Adam Balai-Balai terhadap kesederhanaan gaya hidup para tokoh Al-Irsyad yang ia lihat dalam suatu perjalanan ke Jakarta.
Berdiri sejak 10 November 1929, Madrasah Irsyadin Naas pernah menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam terkemuka di Padang Panjang selain Diniyah Putri, Madrasah Sumatera Thawalib, dan Perguruan Muhammadiyah.
Murid-murid MIN tak hanya berasal dari daerah-daerah di Minangkabau, tetapi juga datang dari semenanjung Malaya. Alumni MIN yang berasal dari Pariaman dan Pesisir Selatan kelak mendirikan cabang MIN di kedua daerah tersebut.
Pejuang Kemerdekaan
Selain terkenal sebagai tokoh pendidikan, Adam Balai-Balai juga merupakan pejuang yang sangat besar jasanya dalam membangkitkan semangat jihad di kalangan umat Islam dalam menentang kolonialisme Belanda dan Jepang.
Pada masa penjajahan Belanda, ia terlibat dalam aksi menentang kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang pada tahun 1928 dan 1932 yang ingin menerapkan Guru Ordonansi dan Ordonansi Sekolah Liar di Minangkabau yang merugikan umat Islam.
Pada zaman pendudukan Jepang, Adam Balai-Balai ikut terlibat dalam pendirian Majelis Islam Tinggi (MIT) besutan ulama seluruh Minangkabau sebagai wadah tempat bermusyawarah dalam menghadapi politik penjajah Jepang. MIT mendapat dukungan penuh dari masyarakat Minangkabau.
Selain itu, Adam Balai-Balai juga secara tegas menolak untuk melakukan seikere yakni sikap membungkukkan badan ke arah matahari sebagai tanda penghormatan kepada kaisar Jepang.
Pada masa kemerdekaan, bertempat di MIN, ia mengorganisasi sekelompok pemuda untuk mengumandangkan berita proklamasi dan mengibarkan bendera merah putih.
Ketika di Padang Panjang berdiri Barisan Sabilillah, Adam Balai-Balai menjadi sebagai pimpinan keamanan. Menjelang Agresi Militer Belanda pertama pada tahun 1947, Syekh Adam menjadikan gedung MIN sebagai markas perjuangan dan dapur umum.
Pada bulan Maret 1948, Adam Balai-Balai ikut terlibat dalam gerakan Pemberontakan Anti Kemerdekaan Indonesia (PAKI) yang berujung dengan Peristiwa 3 Maret 1948.
Baca juga: Syekh Abdurrahman Batuhampar: Pelopor Pengajaran Ilmu Tilawatil Quran
Walaupun termasuk tokoh dalam peristiwa tersebut, ia tidak terkenai tuntutan, juga karena ia sangat berpengaruh dan masyarakat menghormatinya.
Pada hari Jumat tanggal 15 November 1953, bertepatan dengan 30 Zulhijjah 1369 H, Adam Balai-Balai meninggal dunia di Padang Panjang. Jenazahnya disalatkan di Masjid Raya Jihad, masjid yang ia turut menggerakkan pembangunannya bersama gurunya Inyiak Daud.