Muhammad Saleh Pariaman, Dari Nahkoda ke Saudagar

Muhammad Saleh Datuk Rangkayo Basa adalah saudagar Minangkabau terkemuka pendiri Maskapai Dagang Pariaman (MDP) pada 1901

Muhammad Saleh. [Foto: Ist. via niadilova.wordpress.com]

Suluah.com – Muhammad Saleh Datuk Rangkayo Basa adalah saudagar Minangkabau terkemuka pada peralihan abad ke-19 dan ke-20. Ia mendirikan Maskapai Dagang Pariaman (MDP) pada 1901 yang bergerak dalam perdagangan hasil bumi dan transportasi laut.

Perusahaan Muhammad Saleh merupakan perusahaan pertama milik orang Minang yang terbesar pada zamannya dan dikelola secara modern.

Kehidupan Awal

Mek Saleh, demikian sapaan akrabnya, lahir pada 13 Rabiul Awal 1257 Hijriyah (sekitar tahun 1841) di Dusun Pasir Baru, kini Nagari Pilubang, Kabupaten Padang Pariaman sekarang. Ia merupakan anak Peto Radjo dari istri keduanya, Taroes.

Sang ayah merupakan keturunan uleebalang di Rigaih, kini masuk Kabupaten Aceh Barat. Kapan leluhurnya bermukim di Pariaman tidak jelas, tapi Peto Radjo sudah menjadi saudagar ulung di Pariaman pada abad ke-18. Adapun Taroes berasal dari Guguak Tinggi, Kabupaten Agam bersuku Payobada.

Saleh menjalani masa kecil dengan kepahitan sebab sang ayah jatuh miskin dan ibunya meninggal. Selain Taroes, Peto Radjo memiliki tiga istri sehingga ia kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga.

Saleh dibesarkan oleh dua kakak kandungnya, Jidun dan Nangsibah. Saat remaja, ia sudah bekerja untuk menopang hidup, seperti membantu pemilik kedai membeli barang-barang di pasar hingga menarik pukat.

Namun demikian, pekerjaan kasar tersebut tak lama ia lakoni, karena sang ayah menasihatinya untuk berdagang. Untuk apa bekerja kalau tidak untuk menambah akal budi.

Menjadi Nahkoda

Mula-mula, Saleh menjajakan ikan kering. Demi menunjang kemampuannya berdagang, ia belajar ilmu berhitung, membaca, hingga manajemen keuangan. Semua itu dipelajarinya tanpa pernah masuk sekolah, melainkan berguru langsung kepada orang-orang yang ahli.

Saat berumur 14 tahun, ia mulai bekerja sebagai anak buah kapal. Lambat-laun, ia menjadi nahkoda kapal yang berlayar dari Pariaman membawa komoditas hasil bumi ke kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatra seperti Air Bangis, Pulau Telo, Natal, Sibolga, dan Singkel.

Setelah sekitar 13 tahun mengarungi samudra, ia memutuskan kembali berdagang di Pariaman. Saleh memulai bisnisnya dengan berjualan kebutuhan dapur seperti gula merah, gambir, cabe, bawang, kentang, ubi rambat, dan kubis.

Setelah itu, ia menjadi pemasok garam ke darek atau daerah pedalaman Minangkabau. Seiring dengan perkembangan usahanya, ia melirik bisnis pengangkutan barang dengan kapal.

Kemajuan bisnis Saleh pada akhir abad ke-19 mendorongnya untuk mendirikan perusahaan berbadan hukum sendiri. Berdasarkan akta notaris tertanggal 13 Oktober 1901 di Padang, maka berdirilah NV Handelsmaatschappij Pariaman (MDP).

Dalam waktu tiga tahun, volume perdagangannya meningkat sehingga ia mampu membangun komplek pertokoan terbuat dari beton bertingkat dua di pusat kota.

Istri dan Anak Muhammad Saleh

Saleh menikah 14 kali semasa hidup, tetapi tidak semua istrinya memberi keturunan. Total, ia memiliki 29 anak, delapan di antaranya meninggal sebelum dewasa. Keturunan Saleh tersebar di seantero Nusantara, beberapa memiliki reputasi sebagai orang terkemuka Indonesia.

Banoeidah adalah istrinya yang memberi banyak anak, yakni sebelas. Mereka adalah Mohammad Thaib, Alimah, Asiah, Abdurrahman, Mohammad Umar, Mohammad Zainuddin, Chamsiah, Radijah, Fatimah, Mohammad Zain, dan Mohammad Hasan.

Dari Asiah, Saleh memiliki lima cucu. Cucu pertama, Soetan Mahmoed Latif menerbitkan autobiografi sang kakek dengan judul Tjoerito Parasaian Me’ Saleh gala Datoe’ Oerang Kajo Basa (1933).

Cucu ketiga, Sjahbuddin Latif, adalah politikus yang menjadi Menteri Penerangan (1947–1948). Ia merupakan ayah Muhammad Zuhal, Menteri Negara Riset dan Teknologi (1998–1999).

Cucu perempuan Saleh dari Asiah, yakni Nurmali Latif dan Thahajarani Latif. Nurmali melahirkan Djismun Kasri, Duta Besar RI untuk Kenya (2003-2008).

Adapun Tjahajarani melahirkan Anas Boedjang, seorang importir di Padang. Lalu, Sofyan Boedjang, atase perdagangan di KBRI London (1975–1978). Berikutnya, Rachma Fazwa Budjang dan Nurlela Boedjang, keduanya guru besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI).

Cucu dan Keturunan Lainnya

Beberapa cucu Saleh yang lain dari Banoeidah termasuk Soetan Haroen Alrasyid (dari Radijah), seorang pegawai Kementerian Kehutanan; Soetan Hasan Basri Salim (dari Fatimah), seorang dokter di RSUP Cipto Mangunkusumo; dan Hasanah (putri Muhammad Hasan), istri Sidi Tando yang merupakan pengusaha Indonesia terkenal dengan bisnis catnya.

Tak hanya cucu, generasi keempat dan kelima Muhammad Saleh juga ada yang menonjol. Di antaranya Fazwar Bujang (anak Anas Boedjang), mantan Direktur Utama Krakatau Steel (2007–2012) dan Afriansyah Noor (cucu Hasanah), Wakil Menteri Ketenagakerjaan (sejak 2022).

Selain Banoeidah, istri Saleh lainnya yakni Karan, Gado, Adaisah, Sati, Minah, Raisah, Jlalipah, Raipah, Sari Ali, Rapiah, Saleh, Sapiah, dan Bahream. Dari Sati, Saleh memiliki sembilan anak

Baca juga: Sejarah INS Kayutanam (1): Berdiri 31 Oktober 1926 Menumpang Kamar Sewaan

Satu dari mereka yakni Mahyudin alias Buyung Ketek. Ia merupakan ayah dari Gaus Mahyudin, salah seorang mahasiswa Indonesia pertama yang berkuliah di Jepang, dan Mochtar Mahyudin, diplomat yang pernah menjadi Kuasa Usaha Kedutaan Besar RI di Jeddah.

Sebelum meninggal dunia pada 1921, Mek Saleh menulis riwayat hidup dan suka duka menjalankan usahanya yang diterbitkan sang cucu, Soetan Mahmoed Latif pada 1933. Peninggalan rumah gadang Mek Saleh di pusat Kota Pariaman hingga kini masih berdiri tegak. [den]

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an
Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah