Abdul Muis adalah seorang wartawan, sastrawan, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pengurus besar Sarekat Islam (SI) dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut.
Ia menerbitkan novel pertamanya, Salah Asuhan pada tahun 1928. Ia menghabiskan sisa umurnya di Bandung, dan terlibat dalam pendirian Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kehidupan Awal
Abdul Muis lahir pada 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung, Laras Sungai Puar. Ia bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) dan mendapat ijazah ujian ambtenar kecil (klein ambtenaars examen).
Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuannya dalam berbahasa Belanda melebihi rata-rata orang Belanda.
Berikutnya, ia sempat bersekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (Stovia), Jakarta. Namun, karena sakit, ia keluar dan sekolah kedokteran tersebut.
Karier
Pada tahun 1903, setelah keluar dari Stovia, ia menjadi kierk (pekerja kantoran) pribumi pertama oleh Mr. Abendanon, Direktur Pendidikan di Departement van Onderwijs en Eredienst yang membawahi Stovia.
Namun, ia keluar dari departemen itu setelah bekerja selama dua setengah tahun. Pada tahun 1905, ia menjadi anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik di Bandung.
Pada tahun 1907, Bintang Hindia dilarang terbit, dan Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeeling Bank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan itu ia tekuni selama lima tahun hingga tahun 1912.
Selanjutnya, Abdul Muis bekerja di De Preangerbode sebagai korektor. Dalam tempo tiga bulan, jabatannya naik menjadi hoofdcorrector (korektor kepala) karena mempunyai kemampuan bahasa Belanda yang baik, tetapi hanya sebentar.
Terjun ke Politik
Pada tahun 1913, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuk ke Sarekat Islam (SI). Bersama dengan A. H. Wignyadisastra, ia memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung.
Pada tahun yang sama, Abdul Muis bersama dengan Cipto Mangunkusumo, Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap perayaan besar-besaran seratus tahun kemerdekaan Belanda, serta mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.
Selanjutnya, bersama dengan Oemar Said Tjokroaminoto, Abdul Muis memimpin SI. Pada tahun 1917, ia menjadi delegasi SI ke Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, ia juga mendorong tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School (sekarang Institut Teknologi Bandung).
Ssekembalinya dari Belanda pada tahun 1918, Abdul Muis menjadi anggota Volksraad. Selain itu, ia bekerja di harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg.
Pada 1922, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalam Perkumpulan Pegawal Pegadaian Bumiputra (PPPB) mengadakan pemogokan di Yogyakarta.
Setahun kemudian, ia memimpin sebuah gerakan memprotes aturan Landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat. Protes tersebut membuahkan hasil sehingga Landrentestelsel tidak diberlakukan.
Pada saat bersamaan, ia memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Ia juga mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.
Pada tahun 1926, SI mencalonkannya menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Enam tahun kemudian, ia menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan tersebut ia emban hingga tahun 1942.
Semasa pendudukan Jepang, Abdul Muis masih bekerja meski penyakit darah tinggi mulai meñggerogotinya. Jepang mengangkatnya sebagai pegawai sociale zaken.
Menulis Salah Asuhan
Pada tahun 1944, Abdul Muis berhenti bekerja. Pasca-proklamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Ia masih menulis dengan menggunakan inisial nama A.M.
Salah satu tulisannya berjudul Surapati. Sebelum terbit sebagai buku, roman tersebut awalnya adalah cerita bersambung di harian Kaum Muda.
Selain itu, Abdul Muis menghasilkan empat novel dan beberapa karya terjemahan. Karya terkenalnya, Salah Asuhan, dianggap sebagai corak baru penulisan prosa pada saat itu.
Abdul Muis meninggal dunia di Bandung pada 17 Juni 1959. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Presiden Soekarno mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 30 Agustus 1959.
---
Sumber:
Kamus Sejarah Indonesia (Jilid II). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.