Suluah.com – K.H. Abdul Gaffar Ismail adalah seorang ulama yang terkenal di Pekalongan. Pengajiannya ramai didatangi oleh jemaah dari semua golongan Muslim.
Ia sebenarnya berasal dari Minangkabau. Namun, karena terlibat dalam perjuangan menentang penjajahan, pemerintah kolonial membuangnya ke Pekalongan. Bagiamana kisahnya?
Aktif di Politik Sejak Remaja
K.H. Abdul Gaffar Ismail lahir di Desa Jambu Air, Bukittinggi, Sumatra Barat (Sumbar) pada 11 Agustus 1911. Ia mengenyam pendidikan di Sumatra Thawalib Parabek. Sejak masih pelajar surau, ia sudah ikut serta dalam politik.
Pasalnya, situasi menjelang dan sesudah pemberontakan komunis di Silungkang 1927 sangat berpengaruh di kalangan santri dan masyarakat Sumbar pada umumnya.
Bakatnya berorganisasi tersalur dalam kepanduan El Hillal (1930–1932); yang beranggotakan 2.000 anak muda Sumbar. Pada umur 15 tahun, pemerintah kolonial Belanda pernah menangkapnya atas tuduhan menjadi kurir dalam gerakan melawan penguasa kolonial.
Ketika masih berusia 20 tahun, ia aktif dalam Persatuan Muslimin Indonesia (PMI) bersama Mochtar Luthfi dan Ilyas Yakub, keduanya alumni Kairo. Mereka terkenal sebagai sayap radikal yang menghendaki pembaruan revolusioner dalam berorganisasi.
Pada kongres PMI ke-2 di Padang (24 Oktober–1 November 1931), sayap keras tersebut berhasil menjadikan PMI sebagai partai politik, yang singkatan namanya berubah menjadi Permi.
Macan Mimbar
Abdul Gaffar Ismail bersama Mochtar Luthfi merupakan sosok yang tak lepas dari mata-mata Belanda. Abdul Gaffar Ismail mendapat julukan sebagai Singa Podium karena sanggup membakar emosi dan mengarahkan massa, sedangkan Mochtar Luthfi terkenal dengan julukan "Sukarno Sumatera".
Bakat orator serupa juga tampak pada adik kandungnya Rasimah Ismail, aktivis Permi pula, tapi karena kurang hati-hati, ia bersama Rasuna Said melanggar ranjau peraturan Belanda (spreek delict).
Rasimah Ismail ditangkap sesudah acara Permi di Sungai Puar dan Rasuna Said di Payakumbuh. Setelah melalui proses pengadilan, kedua gadis pejuang ini akhirnya harus masuk penjara Semarang selama 18 bulan pada 1932.
Rasimah Ismail dan Rasuna Said adalah wanita aktivis politik Indonesia pertama yang menjadi tahanan pemerintah Hindia Belanda karena agitasi politik di muka umum. Majalah Fikiran Ra’jat asuhan Bung Karno di Bandung di kulit luarnya memasang gambar dua tangan gadis melambai dari balik jeruji besi penjara Semarang.
Di Pekalongan, Abdul Gaffar Ismail yang sudah berusia 22 tahun, mendapat izin pemerintah untuk mendirikan sekolah atau pesantren, asalkan mau kerja sama dengan pemerintah. Namun, ia menolak. Bahkan, ketika mendapat tawaran posisi penghulu agama dengan gaji besar, ia tetap menolak.
Dalam keadaan terus diawasi, Abdul Gaffar Ismail rutin mondar mandir ke Bandung, meneruskan hubungan dengan Bung Karno. Tiap ke Bandung, ia selalu menginap di rumah Bung Karno dan Bu Inggit Garnasih. Mereka saling mengajar dan belajar.
Abdul Gaffar Ismail sebenarnya, ketika belajar di Thawalib Padang Panjang, sudah bersentuhan dengan marxisme, sebagaimana pelajar-pelajar Thawalib menjelang 1926, ketika Natar Zainuddin dari Aceh, diam-diam menyebarkan marxisme di Padang Panjang.
Pada pertengahan 1930-an, ia menulis dalam majalah Berdjoeang Oentoek Merdeka (B.O.M.). Setelah itu, ia berkenalan dengan Sajoeti Melik dan istrinya, S.K. Trimurti.
Mengajar di Pekalongan
Abdul Gaffar Ismail berkarier sebagai mubalig di Pekalongan. Ia mendapat banyak pengikut dari pedagang-pedagang batik Minang, Mandailing, dan Jawa yang kuat rasa keislamannya. Berkat ilmu agama yang ia miliki dan retorikanya yang memikat, nama Gaffar kian terkenal tak hanya di Pekalongan, tetapi di Jawa Tengah secara umum.
Ia juga mengajar tetap di Surabaya dan Makassar. Beberapa kali, ia dan Tinur, istrinya, pindah kediaman, seperti ke Semarang, Solo, Bogor, Yogyakarta dan Jakarta. Terakhir, pada 1953, ia kembali lagi ke Pekalongan.
Wirid pengajiannya adalah tiap Senin malam, rutin sejak tahun 1953. Jika dikurangi masa pindah-pindah kota, maka sampai 1995 sudah sekitar 45 tahun wirid pengajian itu berlangsung.
Ayah penyair Taufiq Ismail ini disapa akrab sebagai kiyai atau ustaz, bukan buya seperti di Minang. Sosoknya sudah berakar di Pekalongan, dan sangat dicintai murid-muridnya yang meliputi dua generasi.
Baca juga: Abdul Malik Ahmad: Ulama dan Politikus Partai Masyumi
Materi pengajian Abdul Gaffar Ismail adalah tafsir Al-Qur’an dan tasawuf, berlangsung sesudah shalat Isya, sekitar 1,5 sampai 2 jam. Jemaah selalu ramai menghadiri pengajiannya hingga melimpah ke jalan dan lapangan di seberang rumahnya.
Abdul Gaffar Ismail meninggal di Pekalongan, Jawa Tengah pada 16 Agustus 1998 dalam usia 87 tahun.