Abdul Malik Ahmad: Ulama dan Politikus Partai Masyumi

Abdul Malik Ahmad adalah seorang ulama dan politikus Partai Masyumi yang aktif di Muhammadiyah dan pernah menjadi anggota Konstituante.

Abdul Malik Ahmad adalah seorang ulama dan politikus Partai Masyumi yang aktif di Muhammadiyah dan pernah menjadi anggota Konstituante.

Suluah.com – Abdul Malik Ahmad, sering dipanggil dengan Buya Malik, adalah seorang ulama dan politikus. Ia aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan pernah menjadi anggota Konstituante dari Partai Masyumi.

Abdul Malik Ahmad lahir pada 13 Juli 1913 di Sumanik, Tanah Datar, Sumatra Barat (Sumbar) dari keluarga sederhana dan taat menjalankan ajaran agama.

Abdul Malik Ahmad adalah anak pertama dari empat orang bersaudara. Ayahnya, H. Ahmad, seorang ulama di Sumanik dan politikus pada masanya yang pernah menjadi Presiden Sarekat Islam (SI) untuk Wilayah Sumbar Bagian Timur.

Salah seorang di antara adiknya adalah Hasan Ahmad yang pernah menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar 1983 sampai 1984.

A. Malik Ahmad adalah alumni Kauman dari awal sampai akhirnya menyelesaikan pendidikannya di Akademi Dakwah dan Tabligh Muhammadiyah Kauman, Padang Panjang.

Setelah itu, ia mengajar di Sekolah Diniyah, Sekolah Tabligh, serta Fakultas Hukum dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Sumbar di Padang Panjang.

Aktif di Muhammadiyah

Pada 1943, ia menjadi sebagai Ketua Pengajaran Muhammadiyah Sumatra Tengah (Sumteng) dan sekaligus sebagai direktur Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah Padang Panjang.

Pada 1946, ia menjadi anggota Pimpinan Muhammadiyah Sumteng sekaligus sebagai anggota Pimpinan Masyumi. Dari sini, kemudian Buya Malik berperan sebagai politikus. Pada saat inilah, ia terpilih menjadi anggota Konstituante 1956–1958.

Buya Malik juga aktif dalam berbagai pergerakan, di antaranya pada tahun 1949, memelopori berdirinya Hizbullah di Sumbar yang merupakan perkumpulan para pemuda Islam untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan.

Melalui Hizbullah, Buya Malik berjuang secara fisik bergerilya melawan penjajahan Belanda. Pada tahun 1958, Buya Malik bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sesudah PRRI, ia pindah ke Jakarta.

Pindah ke Jakarta

Pada 1960, ia mulai menjabat sebagai Ketua Ranting Muhammadiyah Gambir Jakarta. Pada 1964, ia memimpin Cabang Muhammadiyah Gambir.

Dari tahun 1964 sampai 1965, ia mengetuai Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI. Jakarta. Kemudian, ia menjadi Wakil Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk periode 1968–1985.

Pada usia tuanya, Malik tetap menjadi penasihat PP Muhammadiyah.

Selain aktif di Muhammadiyah, Malik juga merupakan salah seorang anggota Majlis Ulama Indonesia Pusat. Di samping itu, ia juga duduk sebagai anggota pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI) pimpinan Mohammad Natsir.

Selain aktif di organisasi keagamaan, Buya Malik juga pernah menduduki jabatan di pemerintah, yaitu sebagai Kepala Jawatan Sosial Sumteng pada tahun 1947–1958.

Malik Ahmad meninggal pada 7 Juli 1912 pukul 10.20 WIB di Rumah Sakit Islam Jakarta dan dimakamkan pukul 17.00 di Pemakaman Legoso, Ciputat, Jakarta.

Karya dan Pemikiran

Buya Malik rajin menulis. Di antara karya tulisnya Buya Malik adalah Tafsir Sinar yang terdiri dari 9 jilid. Aqidah Islam, Strategi Dakwah, dan beberapa makalah (risalah) seperti "Sistem Masyarakat Islam", "Khulashah Ajaran Islam", dan "Tauhid Pribadi Muslim".

Dalam berbagai karyanya itu, banyak hal yang menjadi perhatiannya. Di antara pokok-pokok pikirannya yang sangat mendasar adalah hubungan Islam dan Pancasila.

Pancasila menurutnya adalah produk pemikiran manusia. Oleh karena itu , Pancasila tidak bisa menjadi asas dalam pergerakan, terutama Muhammadiyah yang berasaskan Islam.

Jika hal itu dipaksakan, umat Islam telah terjebak kepada perbuatan syirik. Pemikirannya ini ia lontarkan pada Muktamar Muhammadiyah ke-4 di Solo 1985 ketika pemerintah Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi.

Hal lain yang menjadi perhatiannya adalah strategi dakwah Islam dengan tantangannya yang semakin berat. Oleh karena itu diperlukan kelompok kecil yang terorganisasi, terlatih, kuat, dan berkesinambungan.

Kelompok tersebut diistilahkannya dengan fi'ah qalilah. Seiring dengan itu, dalam pandangannya umat Islam saat ini tidak boleh lagi bersikap ragu-ragu. Mereka harus tetap istiqamah; harus bertahan, tidak mau mundur, apalagi lari dari jemaah.

Selain itu, umat Islam harus mengubah cara memandang lawan harus. Lawan harus dilihat dari atas ke bawah, bukan dari bawah keatas.

Baca juga: Rasuna Said: Kementerian Agama Tak Berguna, Hapus Saja

Bila masih melihat dari bawah ke atas, semua yang kecil tetap saja akan terlihat besar dan penuh tantangan. Akibatnya dakwah Islam akan tetap saja gagal dan semakin berat serta motivasi jihad akan semakin redup.

Jika dilihat dari atas atas ke bawah, semua yang besar dan kuat akan terlihat sangat kecil sehingga semua tantangan dapat teratasi.

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an
Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah